PWMU.CO – Mati ibarat Diwisuda, Gelarnya Almarhum. Kematian itu hal positif bagi yang mau datang kepada Allah. Hal itu dibahas pada Pengajian Orbit yang digelar secara virtual, Kamis (17/12/2020) malam.
Pengajian yang dibina Prof Din Syamsuddin itu kali ini diikuti oleh 155 partisipan Zoom Clouds Meetings. Terdiri dari artis, warga dan pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah, rektor, serta para aktivis. Sebagai nara sumber adalah Prof Dr Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Dia mengutip al-Quran surah al-Jumuah ayat 8 yang artinya “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Menurut dia, ayat ini mejelaskan bahwa berusaha manusia itu mengelak adanya kematian. “Maka dalam buku Psikologi Kematian saya jelaskan manusia yang tidak menerima kematian itu seolah-olah seperti burung onta yang kepalanya dimasukkan pasir, agar tidak terlihat bahaya,” katanya. “Kita seperti tidak mau mengintip kematian, padahal kematian itu selalu mendatangi kita.”
Menurut Komarudin, kita tidak pernah tahu kapan kematian itu datang. “Hari ini kita takziah, tapi bisa jadi minggu depan kita ditakziahi. Bisa jadi minggu ini kita ikut shalat jenazah, minggu depan kita dishalati, Karena semua itu kita tidak pernah tahu,” ungkapnya.
Dia menyampaikan, tidak ada yang pasti selain kematian. Mati itu kepastian tapi, sekaligus mati itu adalah misteri. “Secara psikologis andaikan hidup ini tidak ada batasnya, justru akan membuat kita bingung,” tambahnya.
Hikmah Kematian
Komarudin Hidayat menjelaskan, umur ada batasnya itu ada hikmahnya. Justru jika ada garis finish, orang akan melakukan kebaikan. Berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan.
“Jika orang lomba lari tidak ada garis finish-nya, maka akan bingung. Justru kalau ada garis finish-nya maka orang itu berusaha menciptakan prestasi khusnul khatimah,” ujarnya.
Da menegaskan, Allah memberikan batasan-batasan waktu dengan demikian agar kita berjuang meningkatkan kualitas amalan kita. “Karena kematian itu mendorong orang beragama, akan menciptakan seseorang beragama. Mungkin jika tidak ada kematian orang tidak akan beragama,” jelas Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006-2010 dan 2010-2015 ini.
Menurutnya, kalau saja mati itu akhir dari eksistensi, maka secara moral ini merupakan masalah. Karena kematian itu bukan akhir tapi perpindahan ke kehidupan selanjutnya di akhirat.
Mati Memberikan Optimisme
Alumnus Pesantren Pabelan, Jawa Tengah itu mengatakan, orang yang cerdas itu orang yang selalu ingat kematian. “Yang menarik dalam Islam adalah mati disikapi positif. Beda dengan teori filsafat Barat yang mengatakan bahwa mati itu tragedi, mengakhiri semua mimpi dan menghabiskan segalanya,” terang dia.
Padahal, tambahnya, meninggal itu ibaratnya kita diwisuda. Kata almarhum itu asalnya dari asma Allah, ar-Rahman dan ar-Rahim, orang-orang yang terkasih. Karena sudah tidak punya kesempatan untuk berdosa, tapi mendapatkan hasil panennya itu yang disebut almarhum.
Karena itu, menurutnya, wafat dalam Islam maknanya positif sekali: ‘disempurnakan’. “Ketika kita di dunia melakukan amal shaleh dan Allah berjanji akan melipatgandakan amalan kita, namun itu bisa kita rasakan ketika kita sudah wafat,” tuturnya.
Komarudin menegaskan, mati itu indah, baik, dan positif. Tentu bagi orang-orang yang sudah menyiapkan. Makna maut, al-maut artinya lepasnya ruh-ruh dari jasad. Jadi mati itu pintu gerbang menuju Sang Kekasih (Allah).
“Dunia itu majraatul akhirah, tempat bercocok tanam, dan tempat panennya di akhirat nanti. Jika orang itu sawahnya luas dan bisa merawat sawahnya maka dia akan panen banyak,” tegasnya.
Mengapa Takut Mati?
Komarudin Hidayat mengatakan, orang takut mati itu karena tiga hal.Yaitu terlalu cinta dunia, takut neraka, dan proyeksi dalam kehidupan di dunia.
“Semua manusia bagaikan orang tidur, dan ketika mati mereka baru bangun. Orang tertidur tidak ingat apapun, dan ketika bangun dia akan menjalani kehidupan yang sesungguhnya di akhirat,” katanya. (*)
Penulis Firdausi Nuzula. Editor Mohammad Nurfatoni.