PWMU.CO – Mengelola AUM harus profesional, transparan, dan jujur. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Nadjib Hamid.
Dia menyampaikannya saat menjadi pemateri pada Pengajian Rutin Online bertema Menguatkan Semangat Ber-Muhammadiyah di AUM yang digelar secara virtual oleh RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo, Selasa (22/12/2020).
Menurut Nadjib Hamid, Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan. Spirit bermuhammadiyah adalah melaksanakan perintah agama. Yakni dakwah amar makruf nahi mungkar.
“Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) merupakan sarana dakwah. Semua hal terkait dengan pengelolaan amal usaha dan para pihak yang terlibat di dalamnya, haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah,” ujarnya.
Nahi Mungkar ala Muhammadiyah
Nadib Hamid menegaskan, jangan dikira yang bekerja di AUM tidak amar makruf nahi mungkar. Orang lain menilai tidak kelihatan nahi mungkarnya. Memang tidak gegap gempita seperti ormas yang lain. Membawa pentungan mengobrak-abrik tempat maksiat.
“Coba perhatikan ketika KH Ahmad Dahlan menyuruh muridnya untuk membawa pulang anak-anak terlantar di daerah Tugu dan Malioboro. Itu cikal bakal berdirinya panti asuhan. Coba kalau anak terlantar itu dirawat oleh orang agama lain, apakah kita tidak termasuk mungkar?” sergahnya.
Bukti sejarah, lanjutnya, menunjukkan Muhammadiyah besar dan bertahan hingga se-abad lebih bukan karena uang. Tapi karena gagasan besar, ketekunan, kreativitas, komitmen dan keikhlasan para aktivisnya. Lima modal utama itu kemudian dikelola secara amanah.
Manajemen Bangun Masjid
Pada kesempatan tersebut Nadjib Hamid juga menyinggung soal manajemen menajemen membangun masjid. “Manajemen Muhammadiyah itu seperti manajemen pembangunan masjid. Jika panitia menunggu uang baru membangun maka uang tidak akan terkumpul dan masjid tidak akan terbangun. Tapi mulailah membangun maka uang akan terkumpul,” tuturnya.
Demikian pula Muhammadiyah. Kalau berkegiatan menunggu punya uang, tidak akan ada kegiatan dan tidak akan punya uang. Maka jika ingin punya uang berkegiatanlah.
“Muhammadiyah itu kalau diurus sungguh-sungguh maka tidak akan ada habisnya. Tetapi kalau tidak diurus maka akan terbengkalai,” jelasnya.
Tak Beri Gaji Tapi Kesempatan
Di Muhammadiyah, kata Nadjib Hamid, ada dua pantangan yaitu uang dan perempuan. Jika kedua hal itu diterjang sulit termaafkan. “Maka berhati-hatilah mengelola keuangan AUM. Sekali korupsi maka tidak akan dipercaya lagi. Begitu juga jangan main perempuan karena sangat tabu di Muhammadiyah,” pesannya.
Banyak orang mengira, ujarnya, menjadi pimpinan Muhammadiyah honornya besar. Orang mengira gaji Ketua PWM pasti besar, karena membawahi banyak perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah dan lainnya. Begitu diberitahu bahwa pimpinan Muhammadiyah tidak digaji mereka bingung.
“Bagaimana bisa organisasi sebesar ini hanya diurus sambilan dan pengurusnya tidak dibayar,” tanya seseorang penasaran.
Muhammadiyah, lanjutnya, memang tidak memberikan fasilitas atau uang, tapi kesempatan. Maka itulah bedanya ujrah dan ajrun. Kalau bekerja di AUM hanya mengharapkan ujrah atau gaji maka akan mudah marah-marah kalau merasa gajinya tidak sebanding dengan tugasnya. Tetapi kalau ajrun atau pahala yang diutamakan maka yakinlah rezeki dari jalan yang lain akan mengikuti.
“Saya ini kalau menghitung penghasilan mungkin tidak cukup untuk bisa jalan-jalan sampai ke luar negeri. Tapi ketika menjadi pimpinan di Muhammadiyah maka ada kesempatan untuk menjadi utusan. Akhirnya bisa naik haji, jalan-jalan ke Amerika, China dan yang lainnya,” paparnya.
Perjuangan Membangun AUM
Sebagian besar AUM tumbuh dari bawah. Bagi yang bekerja di AUM ketika AUM sudah besar dan mapan, mungkin tidak tahu perjuangan awal mendirikan AUM.
“Dimulai dari gagasan besar misalnya RS Siti Khodijah ini. Kemudian para pimpinan dan warga Muhammadiyah urunan untuk membangunnya. Dari RS yang kecil menjadi besar dan bagus seperti sekarang ini. Perjuangan para pendiri awal sangat luar biasa. Itupun kadang masih ada yang maido atau mencela,” terangnya.
Mekanisme pengelolaannya kemudian diatur Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan membagi tugas dan fungsi pada masing-masing pihak secara berbeda. Ketika tupoksi itu tidak dijalankan oleh masing-masing secara seiring dan seimbang, buahnya pasti konflik berkepanjangan.
“Karena itu semua mesti kembali pada motivasi awal. Bahwa tujuan pendirian amal usaha untuk sarana dakwah dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mengembangkannya. Keberadaan amal usaha di suatu tempat, harus pula membawa berkah bagi tempat lainnya. Karena itu perlu dibangun sinergi,” tuturnya.
Bukan Sekadar Bekerja
Muhammadiyah dan amal usahanya didirikan untuk menunjang program dakwah. Maka dalam pengeloaannya harus selaras dengan prinsip-prinsip dakwah dan aturan Persyarikatan.
“Dilandasi niat ibadah, bukan sekadar bekerja. Pesan KHA Dahlan Hidupi-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari kehidupan dalam Muhammadiyah,” pesannya.
Seluruh aset Muhammadiyah, sambungnya, siapa pun yang merintis dan mendirikannya, secara hukum adalah milik PP Muhammadiyah. Maka setiap perubahan aset harus sepengetahuan pimpinan Persyarikatan.
“Amal usaha sebagai wahana dakwah merupakan implementasi dari semangat al-Maun, bukan bisnis semata. Karenanya harus peduli pada pada lingkungan sosialnya,” jelasnya.
Menurutnya mengelola AUM berarti mengelola aset, baik berupa uang maupun lainnya yang biasanya rawan fitnah. Karena itu perlu tranparansi dan kejujuran.
“Sikap jujur dari para pengelola amal usaha diperlukan karena perangkat organisasi saja kadang belum cukup untuk mengontrol tranparansi,” tuturnya.
Mengelola AUM harus profesional, transparan, dan jujur. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.