PWMU.CO– Sikap Muhammadiyah tentang Bank Syariah Indonesia (BSI) sudah disampaikan Pimpinan Pusat, perorangan diminta tak lagi berkomentar atas nama apa pun.
Demikian dikatakan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agung Danarto, Jumat (25/12/2020). Dia menjelaskan, sikap dan pandangan resmi PP Muhammadiyah mengenai BSI telah jelas tertuang dalam Pernyataan PP Muhammadiyah Nomor 31/PER/I.0/A/2020 yang berisi enam poin pernyataan.
”Karenanya pernyataan-pernyataan orang perorangan atas nama apapun, baik sebelum maupun sesudahnya, tidak mewakili dan mencerminkan sikap dan pandangan resmi Muhammadiyah sebagaimana dalam edaran resmi tersebut,” kata Agung Danarto.
Termasuk di dalamnya, sambung dia, belum ada sikap resmi Muhammadiyah untuk mendirikan bank syariah sendiri, ”PP Muhammadiyah juga belum membentuk tim khusus yang berkaitan dengan masalah perbankan tersebut,” tandasnya.
Agung meminta anggota atau para pihak di internal Muhammadiyah untuk menahan diri dan tidak membuat pernyataan, sikap, dan langkah sendiri-sendiri.
”Jika ada pandangan dan kontribusi pemikiran berkaitan hal tersebut mohon disampaikan terlebih dahulu melalui mekanisme organisasi,” ujar Agung.
Dikatakan, segala hal yang berkaitan dengan kebijakan perbankan dan apapun yang berkaitan dengan urusan organisasi sepenuhnya menjadi perhatian dan kebijakan resmi PP Muhammadiyah.
”Semua pihak agar tetap seksama dalam koridor sistem karena Muhammadiyah merupakan organisasi yang besar dan segala sesuatunya berdasar ketentuan persyarikatan,” tegasnya.
Pro UMKM
Sikap Muhammadiyah tentang BSI disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Selasa (22/12/2020). BSI merupakan merger dari Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah.
Muhammadiyah meminta BSI harus memiliki kebijakan khusus yang bersifat imperatif yang lebih besar, minimal 60 persen, untuk pembiayaan UMKM sesuai dengan program Muhammadiyah mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Kebijakan itu untuk akselerasi pemberdayaan, penguatan, dan pemihakan yang tersistem kepada UMKM dan kepentingan mayoritas masyarakat kecil.
”Kinerja dan keberhasilan BSI hendaknya tidak dinilai dari laba, tetapi sejauh mana membantu menciptakan lapangan kerja dan tujuan sosial meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,” tandasnya.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi sekaligus terwujudnya pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila.
”Bila kesenjangan sosial-ekonomi dibiarkan akan merusak kebersamaan dan persatuan Indonesia. BSI dan perbankan pada umumnya tidak menjadi lembaga yang memberi kemudahan dan dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki akses kuat secara ekonomi, politik, dan sosial manapun,” ujarnya.
BSI sesuai wataknya, sambung dia, sebagai bank syariah sangat tepat apabila mendeklarasikan diri sebagai bank yang fokus kepada UMKM untuk percepatan perwujudan keadilan sosialekonomi secara lebih progresif di negeri ini.
”BSI yang berlabelkan syariah secara khusus penting menaruh perhatian, pemihakan, dan kebijakan imperatif pada program penguatan dan pemberdayaan ekonomi umat Islam yang sampai saat ini masih lemah secara ekonomi. Kebijakan khusus tersebut sebagai perwujudan dari keadilan distributif dalam bingkai aktualisasi persatuan Indonesia. Bila umat Islam kuat maka bangsa Indonesia pun akan menjadi kuat dan maju,” katanya.
Berkaitan dengan itu, kata Haedar, Muhammadiyah dengan seluruh amal usaha (AUM) dan jaringan organisasinya yang luas didukung pengalaman manajemen profesional dan sumber daya manusia dengan spirit al-Quran, terutama surah al-Maauun, siap secara konsep dan langkah nyata untuk mengembangkan program UMKM dan ekonomi kerakyatan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto