Kekuasaan Memang Mengasyikkan oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Siapa pun bisa memegang erat kekuasaan tapi kekuasaan datang pergi silih berganti. Seratus Kurawa tumpas. Gandari menangis dan menyumpah. Kresna tidak mencegah Baratayudha meski ia mampu. Di hutan setelah kemenangan hampa. Kresna tersadar. Ia duduk tafakur dalam posisi yoga. Malang pemburu lewat. Kresna terlihat seperti kijang merumput liar. Tumitnya tertikam. Kresna tewas seperti binatang buruan.
Kisah lain. Ibrahim bin Adham, Raja Balkh yang megah itu pergi meninggalkan gemerlap istana. Ia memilih hidup esoteris, menyendiri, berdzikir dan banyak tafakur. Baginya kekuasaan tak cukup banyak menolong. Hidupnya tetap hampa tak berkesudahan. Sampai kemudian ia putuskan menjadi penganut sufi dan mashur. Konon ia menjadi sufi yang sakti dan banyak karamah. Lantas bahagiakah ketika Ibrahim bin Adham sudah menjadi sufi dan meninggalkan kemewahan dunia ?
Ini juga bukan fiksi. Kekuasaan punya sejarahnya. Ada yang kelam penuh derita ada yang elegan penuh pesona. Di Kediri tahun 1045, Prabu Airlangga turun tahta. Ia tinggalkan gemerlap istana. Ia putuskan hidup di hutan, merenung, menyendiri duduk berkhalwat. Tafakur, berdzikir tentang apa arti hidup. Ia menjadi resi Jantayu yang sakti mandraguna sebelum moksa ke langit tujuh.
Benarkah akhir penguasa selalu nestapa. Kesepian dan dijauhkan dari ramai. Bung Karno dan Pak Harto mungkin bisa menjawab. Ini bukan soal karma atau kuwalat karena menista ulama. Khurafat, saya bilang. Bukankah kekuasaan memang terus diputar seperti roda pedati, tulis Al Mawardi.
Lantas apa yang dilakukan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya. Niccolo Machiaveli punya nasihat baik untuk para pangeran kesepian yang bersaing. Tujuan menghalalkan semua cara. Dalam karyanya yang fenomenal Il Principe. Para kaisar dan raja harus teguh hati, menyisakan satu anaknya sebagai penggantinya.
Kelompok Kita
Mungkin Bhisma bisa cukup bijak menjelaskan bahwa dirinya hanya memperturutkan takdir, ketika terjebak harus membela Kurawa melawan Pendhawa pada perang paling dramatis dalam sejarah peradaban kemanusian. Sebelum ia mati dibunuh Srikandi, titisan Dewi Amba, kekasihnya yang patah hati karena cintanya yang pernah ia tolak.
Kerumitan dunia, tutur Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, pada judul tulisannya sangat brilian. Tokoh ulama yang satu ini dikenal tawadhu dan bijak menyikapi banyak soal berat. Betapa pentingnya akhlak mulia untuk mengemban amanah, agar setiap yang diberi tak menggenggam erat amanah, ada waktunya dipindahkan bergantian, agar harmoni tetap terawat dan terjaga.
Konfrontasi FPI dan HTI dipimpin ulama. Rezim ini juga didukung ulama, bahkan ketua ribuan ulama Indonesia yang kredibel dan berintegritas yang punya jasa besar membesarkan Islam berhimpun di dalamnya. Tapi cukupkah merepresentasi umat Islam?
Gus Dur pernah merasakan pahitnya kekuasaan. Ia tetap dianggap bukan ’kita’ dan harus dijatuhkan untuk alasan yang dibuat-buat. Pangkal soalnya adalah karena Gus Dur dan Kiai Ma`ruf dianggap bukan ’ulama kita’. Lantas dijadikan penghalalan atas semua yang dilakukan.
Lantas kepada siapa harus memilih dan mendukung? Mungkin saya tak pandai menjelaskan, ketika kekuasaan dipadankan dengan iman. Sebab kecintaan dan kebencian yang sangat, dapat mengalahkan iman. Begitulah hukum kekuasaan berjalan. Wahai Tuhanku berilah aku kekuasaan dari sisiMu yang dapat menolong. Al Isra’: 80. (*)
Editor Sugeng Purwanto