Dalam Alquran, Allah mengklasifikasikan kedudukan anak menjadi empat golongan yaitu: Pertama, anak sebagai musuh (Attaghabun:14). Menurut Ibnu Abbbas, asbabun nuzul turunnya ayat ini saat Auf bin Malik Al Asyja’i mengadu kedada Rasulullah tentang perangai buruk anak dan istrinya. Mereka senantiasa menghambat kepergiaannya untuk berperang membantu Rasulullah. Bila anak atau istri berseberangan dengan ayahnya secara aqidah maka mereka adalah musuhnya.
Kedua, anak sebagai fitnah atau ujian ( Attaghabun: 15). Fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Namun di sisi yang lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah, dan sesungguhnya makna yang kedua itulah yang dikehendaki-Nya.
Ketiga, anak sebagai perhiasan (Alkahfi: 46). Dunia ini adalah hijau lagi manis. Itulah perumpamaan dalam sebuah hadits shahih yang menggambarkan betapa di dunia ini akan banyak kita jumpai keindahan dari sebuah perhiasan yang bisa membuat manusia terlena dengan gemerlap yang menyilaukan sehingga seringkali terjebak pada rasa bahagia sesaat.
(Baca juga: Kesuksesan Pendidikan Anak Perlu Peran Orangtua, selain Sekolah)
Untuk itu maka dianjurkan oleh Allah untuk menghadapi jebakan–jebakan itu dengan albaqiyatusshalihah, yaitu kebaikan–kebaikan yang kekal.
Keempat, anak sebagai penyejuk mata (qurrota a’yun), penyejuk hati (Alfurqan: 74). Adalah anak–anak yang baik dan bertakwa sehingga menjadi penyenang, penenang, dan penyejuk hati bagi keluarga.
Dari keempat kedudukan anak tersebut pasti semua orang tua menginginkan anaknya termasuk qurrota a’yun. Dan hanya anak-anak yang hebat-lah yang bisa masuk pada katagori itu.
Ada konsekwensinya ketika orang tua ingin anaknya sehebat itu. Orang tua harus bisa menjadikan diri mereka sebagia pusat perhatian bagi anak mereka dalam hal apapun terlebih lagi dalam urusan aqidah dan ibadah. Bersambung ke halaman 3 …