Segudang teori yang mengurai tentang pembentukan karakter anak untuk pemunculan sebuah potensi diri dari berbagai para pakar, tetaplah tidak bisa menentang taqdir Allah yang telah menetapkan bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah seorang ibu.
Ketika berbicara ibu maka itu tidak terlepas dari sebuah keluarga dan pemimpin keluarga adalah seorang ayah. Dengan demikian untuk menjadikan anak terhebat harus dikembalikan pada pendidikan keluaraga yang ditunjang dengan pendidikan sekolah dan lingkungan sebagai proses untuk bersosialisasi.
Seorang ibu sebagai madrasah pertama bagi anak, maka suatu keharusan untuk menjadi ibu yang smart dalam segala hal karena pendidikan dimulai saat anak masih dalam kandungan sebagaimana hadits Nabi “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian ibu sampai ke liang lahat“.
(Baca juga: Masjid Harus Sediakan Wifi, Buku, dan Kopi agar Lebih Menarik dari Warkop)
Demikian halnya seorang ayah. Sebagai kepala keluarga harus mempunyai integritasi pemimpin yang bisa memengaruhi dan menggerakkan anggota keluarga ke arah kebenaran. Sebagaimana perintah Allah, “Hai orang orang yang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat–malaikat yang kasar , yang keras , yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Attahrim: 6).
Kata kunci dalam pembentukan generasi yang hebat adalah keteladan. Dan itu akan kita pertanggungjawakan di dunia dan akhirat sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Usamah bin Zaid ra berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Akan dihadapkan orang yang berilmu pada hari kiamat, lalu keluarlah semua isi perutnya, lalu ia berputar-putar dengannya, sebagaimana himar yang berputar-putar mengelilingi tempat tambatannya. Lalu penghuni neraka disuruh mengelilinginya seraya bertanya: Apakah yang menimpamu? Dia menjawab: Saya pernah menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak mengerjakan-nya, dan saya mencegah orang dari kejahatan, tetapi saya sendiri yang mengerjakannya”. (Muttafaq Alaih) (*)
Opini Uzlifah, SS, aktivis Aisyiyah Kota Malang