KH Hisyam, Pemimpin Muhammadiyah yang Fenomenal meski Tak Terkenal, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biograf itokoh-tokoh Islam.
PWMU.CO – Di internal Muhammadiyah, nama KH Hisyam tak setenar KH Mas Mansur atau Ki Bagus Hadikusumo. Walaupun begitu, Ketua Hoofdbestuur/HB (kini Ketua Umum PP) Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan dan KH Ibrahim itu punya reputasi sangat mengesankan terutama di bidang pendidikan. Jasanya kala itu, bahkan diapresiasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda.
KH Hisyam lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 10 November 1883. Dia murid langsung dari KH Ahmad Dahlan.
Dia selalu serius namun tak jarang bisa juga tertawa dan itupun tetap dalam batas-batas kesopanan. Sikapnya tenang dan berwibawa. Jika berjalan perlahan tetapi mantap mirip KH Sujak, murid KH Ahmad Dahlan yang lain.
Dalam hal busana, selalu mengenakan palikat dan jas tutup berwarna putih bersih serta kepalanya bersorban putih pula (Djarnawi Hadikusumo, 2014: h. 45).
Prestasi dan Penghargaan
Pada diri KH Hisyam—dan murid-murid yang lain—ajaran dari KH Ahmad Dahlan benar-benar masuk ke sanubarinya. KH Hisyam pun lalu menjadi “manusia amal”. Maka, sebagaimana sang guru, jejak kebaikan dan jasa Kiai Hisyam cukup panjang.
Berikut ini, sebagian di antaranya. Pertama, KH Hisyam sukses mengembangkan bidang pendidikan di Muhammadiyah. Bermula dari gerakan KH Ahmad Dahlan yang pada 1911 mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah sebagai sekolah yang diperuntukkan bagi para pribumi. Dalam perjalanannya, lembaga pendidikan itu oleh KH Ahmad Dahlan diubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah.
Pada 1920 Hoofdbestuur/HB Muhammadiyah membentuk Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Dikdasmen). Untuk itu, PB mengamanatkan jabatan Ketua Bagian tersebut kepada Kiai Hisyam. Jabatan itu dipegang Hisyam sejak di era kepemimpinan KH Ahmad Dahlan yaitu 1920-1923 dan berlanjut di zaman KH Ibrahim (Ketua Hoofdbestuur/HB Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan) yaitu 1923-1934.
Semangat KH Ahmad Dahlan dalam melawan penjajah lewat pendidikan benar-benar dilanjutkan oleh KH Hisyam. Ketika KH Hisyam menjabat sebagai Ketua Bagian Sekolah di Hoofdbestuur/HB Muhammadiyah terjadilah percepatan persebaran pembangunan dan perbaikan pendidikan di Muhammadiyah. Di antara langkah strategisnya adalah dengan membuka Sekolah Dasar Tiga Tahun (Volkschool atau Sekolah Desa), yang setara dengan Volkschool Gubernemen.
Setelah itu, dibuka pula Vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan Volkschool dan Vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa.
Saat pemerintah kolonial Belanda membuka Standaardschool (sekolah dasar enam tahun), Muhammadiyah juga mendirikan sekolah yang serupa. Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Qur’an Muhammadiyah, untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche School Met de Bijbel.
KH Hisyam cekatan. Pada 1923 Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standarschool, dan 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Sebagai bagian dari usaha pencerdasan, di sekolah-sekolah Muhammadiyah diterapkan pemakaian Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Ketua Tiga Periode
Kedua, KH Hisyam menjadi Ketua Hoofdbestuur/HB Muhammadiyah untuk tiga periode berturut-turut. Awal, KH Hisyam terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada Kongres Muhammadiyah ke-23 pada 1934 di Yogyakarta. Terpilih lagi, pada Kongres ke-24 di Banjarmasin pada 1935 dan terakhir terpilih lagi pada Kongres ke-25 di Jakarta pada 1936.
Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Kebijakannya diarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.
Kiai Hisyam berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini karena Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu sama dengan sekolah-sekolah “pemerintah”. Bahkan ada kelebihan lain, yang sangat khas, yaitu di sekolah-sekolah Muhammadiyah terjamin pendidikan agama bagi semua muridnya.
Kala itu, meski harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah berusaha untuk memenuhinya. Hasilnya, banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial Belanda.
Ketiga, KH Hisyam tertib dalam hal administrasi dan manajemen organisasi, setidaknya menurut ukuran pada zamannya. Selama tiga tahun Muhammadiyah dipimpin KH Hisyam, kemajuannya sangat pesat termasuk di segi tertib administrasi organisasi. Kesemua capaian kemajuan itu diperoleh antara lain juga karena adanya dukungan dari Sekretaris PB Muhammadiyah yang memang cakap dan tekun yaitu Yunus Anis.
Terima Subsidi Pemerintah Kolonial
Keempat, KH Hisyam tergolong taktis. Bahwa, dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam berkenan “bekerja sama” dengan pemerintah kolonial Belanda. Seperti apa bentuknya?
Waktu itu Kiai Hisyam—atau Muhammadiyah—bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial Belanda untuk perbaikan pendidikan. Meski jumlah bantuan itu sangat sedikit—-tidak sebanding dengan bantuan kepada sekolah-sekolah Katolik/Kristen), tapi itu dirasakan sebagai pilihan yang taktis-strategis.
KH Hisyam berpendirian bahwa subsidi “pemerintah” itu dananya bersumber dari pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Maka, dengan menerima subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk memajukan dunia pendidikan. Langkah ini diyakini bahwa pada akhirnya juga akan bisa mencerdaskan bangsa secara umum.
Masih ada alasan lain, bahwa menerima subsidi dari pemerintah kolonial Belanda lebih baik ketimbang menolaknya. Hal ini, karena jika subsidi ditolak maka anggarannya akan dialihkan kepada sekolah-sekolah Katolik/Kristen yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Tentu yang demikian hanya akan lebih menguatkan posisi kolonialisme Belanda.
Memang, setiap pilihan kebijakan yang berdimensi publik potensial menimbulkan dukungan di satu sisi dan penolakan di sisi lain. Terkait sikap KH Hisyam itu, datang kritik tajam dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu keduanya memilih sikap non-kooperatif.
Kelima, KH Hisyam rendah hati. Berkat jasa-jasa Kiai Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, beliau mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau.
Bagaimana sikap Kiai Hisyam atas penghargaan itu? Dalam suatu pertemuan dengan anggota-anggota Hoofdbestuur/HB Muhammadiyah, Kiai Hisyam menegaskan bahwa soal bintang jasa ini perkara kecil dan bersifat keduniawian. Adapun Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah semata-mata terdorong oleh hal-hal yang berdimensi ukhrawi yakni mencari keridhaan Allah.
Selanjutnya, dia merasa tidak berhak menerima bintang jasa tersebut sebab yang dia dirikan adalah sekolah-sekolah atas biaya anggota Muhammadiyah dan kaum Muslimin.
Dengan prestasi cemerlang seperti yang sedikit tergambar di atas, maka KH Hisyam yang wafat pada 20 Mei 1945 itu jelas fenomenal. Jejak yang ditinggalkannya, terutama di bidang pendidikan, tak akan mungkin bisa kita lupakan.
Semoga dasar-dasar yang telah dibangun KH Hisyam bisa terus bertumbuh dan berkembang sebab bidang pendidikan sungguh sangat strategis bagi pencapaian peradaban yang mulia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni