Wafatnya Ulama, Cara Allah Mencabut Ilmu ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Wafatnya Ulama, Cara Allah Mencabut Ilmu ini berangkat dari hadits riwayat Muttafaqun ‘alaih.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. متفق عليه
Dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, etika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan’.
Dorongan Menuntut Ilmu
Allah tidaklah mencabut ilmu dari dada para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan ulama. Dalam hal ini tersirat dorongan untuk kita senantiasa menuntut ilmu dari para ulama, sebelum ulama itu diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Taala.
Bahkan dorongan ini menjadi kewajiban individual bagi kita untuk selalu berusaha menimba ilmu dari para ulama. Mencari ilmu itu wajib sebagaimana seseorang mencari harta.
Sekalipun di tangan kita sudah ada al-Quran maupun kitab-kitab hadits, akan tetapi tetap membutuhkan sesorang yang alim yang menjelaskannya, tanpa hal ini bisa jadi seseorang akan menjadi salah tafsir atau salah paham. Majelis taklim haruslah selalu dihidupkan demi menjaga kualitas dari keilmuan kaum muslimin.
Tradisi Taklim
Tradisi taklim dalam Islam dimulai sejak masa Rasulullah dengan para shahabat beliau. Kemudian berlanjut antara Sahabat yang satu dengan lainnya terutama ketika Rasulullah telah wafat, demikian pula berlanjut pada masa tabi’in yaitu murid-murid dari para shahabat nabi, dan juga tabi’ut tabi’in yaitu murid-murid para tabi’in berlanjut sampai para ulama’ dan sampai masa kini.
Sehingga sebagai tradisi khazanah keilmuan dalam Islam, banyak para ulama pendahulu yang telah menulis kitab sesuai disiplin keilmuan yang luas dalam islam, dan ulama berikutnya memberikan syarahnya atau penjelasannya dalam bentuk kitab pula. Begitulah sampai kurun saat ini kitab-kitab para ulama itu masih terus menjadi literatur keilmuan yang tidak pernah kering dikaji dan didalami.
Saling Menghormati dan Menghargai
Dalam tradisi keilmuan ini tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara kalangan para ulama. Baik antara satu ulama dengan ulama lainnya dan juga antara guru dan muridnya. Sebagaimana Imam Syafi’i kerap berbeda pendapat dengan guru beliau Imam Malik, demikian pula dengan ulama lainnya. Akan tetapi mereka selalu saling menghormati dan menghargai, dan tidak saling mencela.
Apa yang seringkali terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin saat ini, sesungguhnya telah terjadi pula pada para ulama terdahulu. Hujjah dan argumentasi yang didasarkan pada dalil atau nash telah pula dikemukakan sedemikian rupa, sehingga tidak perlu kemudian saat ini terulang kembali seolah menjadi pembahasan baru yang belum pernah dibahas. Sikap kita adalah tinggal hujjah mana yang kita ambil sebagai prinsip yang kita yakini tanpa harus mencela kepada lainnya, apalagi sampai membencinya.
Perpecahan yang terjadi pada umat ini terutama karena sikap saling mencela bahkan saling membenci. Tidak ada sikap tasamuh atau saling menghargai antara satu dengan lainnya. Berbeda pendapat itu boleh, perpecahan itu yang dilarang. Berbeda pendapat itu sah-sah saja, saling membenci karena berbeda pendapat itu yang dilarang.
Seorang Muslim itu memiliki hati yang lapang untuk dapat menghargai perbedaan dengan lainnya. Bekerja sama terhadap hal yang disepakati dan saling menghargai terhadap hal yang berbeda.
Sesat dan Menyesatkan
Sebagaimana penjelasan dalam hadits di atas, jika ulama sudah tiada tinggallah orang-orang jahil yang kemudian dijadikan pemimpin. Kata jahil adalaha lawan alim, yaitu orang yang tidak berpengetahuan atau bodoh.
Maka ketika ditanya terhadap suatu masalah mereka berfatwa tanpa ilmu. Apalagi kemudian jika fatwanya itu hanya mengikuti keingingan hawa nafsunya sendiri atau kelompoknya sendiri tanpa mengindahkan asas manfaat bagi banyak orang. Ia tersesat dan yang lebih berbahaya lagi adalah menyesatkan orang lain.
Hadits ini mengandung kekhawatiran akan terjadinya masa itu yaitu semakin langkanya ulama atau orang yang alim. Maka sebelum hal itu terjadi adalah kewajiban kita untuk meneruskan tradisi dalam islam yaitu selalu menghidupkan majlis taklim.
Terlalu luas khazanah keilmuan dalam Islam ini yang tidak akan ada habisnya untuk dikaji dan didalami. Dan yang sempit itu adalah akal kita yang enggan untuk mencari ilmu lebih khususnya adalah ilmu agama.
Semoga wafatnya Syekh Ali Jaber, salah satau ualam Indonesia, pada tanggal 14 Januari 2021 diganti oleh Allah dengan munculnya ulama lain. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Wafatnya Ulama, Cara Allah Mencabut Ilmu ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 17 Tahun XXV, 15 Januari 2020/1 Jumadits Tsania 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.