PWMU.CO – Bencana Indonesia, Salah Siapa: Hujan, Global Warming? Bencana datang melanda Indonesia bertubi-tubi. Siapa yang salah? Dalam banjir besar yang melanda 10 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan, Presiden Jokowi punya jawabannya.
“Curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga memang meluap di 10 kabupaten dan kota,” katanya, ‘menyalahkan’ hujan.
Jawaban Jokowi berbeda dengan klaim para aktivis lingkungan. Menurut mereka Kalsel sudah dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Perubahan tata guna lahan. Hutan-hutan sudah banyak menjadi lahan perkebunan sawit dan pertambangan. Ini yang menyebabkan kesimbangan lingkungan goyah.
Lalu bagaimana menjelaskan faktor manusia sebagai penyebab erupsi Gunung Semeru? Menteri Sosial Tri Rismaharini punya jawaban spekulatif. Dia ‘menuduh’ global warming sebagai penyebabnya.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua harus siap. Karena memang dampak global warming ini luar biasa. Mungkin lho ya, karena saya teorinya tidak tahu dan saya juga bukan ahlinya. Tapi karena ada gempa bumi, kemudian ada goyangan-goyangan di lempengan yang menyebabkan adanya erupsi Gunung Semeru dan sebagainya, kita tidak tahu. Tapi kita harus siap,” ungkapnya.
Mengutip wikipedia.org letusan gunung merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Peristiwa ini berhubungan dengan naiknya magma dari dalam perut bumi.
Aktivitas magma yang mempunyai suhu yang sangat tinggi di dalam perut bumi berusaha keluar sehingga dapat terjadi retakan-retakan dan pergeseran lempeng kulit bumi. Magma yang keluar dari perut gunung berapi adalah gunung yang sedang meletus atau vulkanisme.
Nah, naiknya magma itu sebuah proses alami keseimbangan alam semesta atau oleh pemansan global akibat ulah tangan manusia?
Jangan Lupakan Kuasa Ilahi
Jadi, bencana Indonesia salah siapa? Mungkin inilah jawaban kita: penyebab bencana saling-silang. Pertautan antara fenomena alam dan manusia: teknologinya, juga keteledorannya. Layaknya sebuah irisan dalam himpunan matematika.
Seperti banjir Kalsel. Ada hujan deras, ada kerakusan manusia. Hutan ditebas. Ada tangan penguasa yang berkongkalikong dengan penguasa.
Tapi bagaimana menjelaskan keteledoran manusia dalam gempa di Mamaju dan Majene Sulawesi Barat? Sebuah human error? Akibat global warming? Rasanya masih sulit dicari relevansinya.
Maka irisan antara alam dan manusia tidak pernah cukup untuk menjawab apa dan siapa di balik setiap bencana! Bencana, seperti kuasa ciptaan Tuhan lainnya adalah ayat atau tanda-tanda.
Penciptaan alam semesta dan segala isinya—keserasian dan keteraturan jagad raya, keindahan dan keunikan alam raya, keanekaragaman makhluk hidup, silih bergantinya siang dan malam—adalah di antara tanda-tanda kekuasaannya (al-Baqarah 164).
Demikian pula fenomena dan peristiwa-peristiwanya, yang terjadi berulang-kali atau yang hanya terjadi sekali, ataupun bencana yang menimpa manusia dan alam semesta adalah bagian dari kekuasaan Allah:
“Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidal pula) pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap yang diberikannya kepada kamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid 22-23, baca baca juga al-Anam 65).
Jadi, bencana adalah bagian dari kuasa Ilahi. Kita tak punya kuasa menolaknya. Juga menyebabkannya. Apa pun peran alam dan manusia dalam irisan penyebab bencana, hanyalah bagian semesta himpunan dari kuasa Ilahi.
Kita hanya bisa mengambil hikmah dan pelajaran: harus semakin arif terhadap alam. Juga berdisiplin berperilaku. Sembari tetap sadar, bahwa kuasa Ilahi meliputi segala sesuatu. Maka, tunduk dan pasrah pada Ilahi adalah hikmah terbesar dari sebuah bencana.
Tapi tidak cukup dengan itu, sebab kuasa Ilahi bukan hanya berlaku untuk bencana. Senang, tenteram, aman, selamat, sehat, bahagia, adalah juga kuasa Ilahi.
Bukan seperti ketika melihat oarng mati tergilas tronton, lalu kita berucap, “Ini takdir Allah!” Sementara saat kita ketiban rezeki lalu menyombongkan diri, “Inilah bukti kesuksesanku!”
Rezeki, kecukupan dan kemewahan adalah juga bagian kuasa Ilahi. Mungkin ini yang malah sering tidak kita sadari. Kita merasa bahwa semua kesuksesan adalah bagian dari kuasa kita, dan bukan takdir Tuhan!
Apakah sikap ini yang membuat Allah mencambuk kita dengan bencana? Wallahu a’lam! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni