Menimbang Umrah di Masa Pandemi, kolom oleh Pradana Boy ZTF, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Pandemi Covid-19 menghantam seluruh sendi kehidupan. Tanpa terkecuali. Dunia pendidikan lunglai. Aktivitas industri tersendat. Kelangsungan hidup sebagian besar orang terancam.
Menurut laporan Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), hingga Agustus 2020, sekira 29 juta orang di Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja. Kenyataan itu menyebabkan angka kemiskinan meningkat. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyebut kemiskinan di Indonesia meningkat sebesar 9,7 persen.
Pandemi ini, memang isu kesehatan. Tapi akibat yang ditiupkan melampaui dunia kesehatan. Agama termasuk ke wilayah di luar kesehatan yang terdampak itu. Praktik beribadah pun menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat pandemi.
Masjid-masjid ditutup. Kemudian dibuka kembali dengan aturan kesehatan yang ketat. Memang tak semua demikian. Tetapi justru karena tak semua masjid menjalankan hal yang demikian itulah perdebatan menyeruak. Perdebatan tentang aneka aspek keagamaan yang berubah, mengemuka. Bahkan kadang liar dan tak terbendung.
Perdebatan pada wilayah agama semakin deras manakala pandemi membawa dampak pada pelaksanaan ibadah haji, dan tentu saja umrah. Fakta bahwa sepanjang sejarah Islam telah terjadi puluhan kali pembatasan kunjungan ke Kakbah, tak menyurutkan kontroversi. Aneka spekulasi berkembang. Antara lain bahwa pandemi ini merupakan ciptaan kalangan yang tak suka dengan Islam, dan dampaknya pada “pembatasan” atau bahkan “penutupan” Makkah untuk ibadah haji, merupakan bukti nyata konspirasi menghancurkan Islam itu. Anda percaya?
Umrah dan Tujuan Syariah
Di tengah situasi itu, muncul kabar baik. Bahwa ibadah umrah kembali bisa dijalankan. Tentu, dengan aneka prosedur dan pembatasan. Umat Islam dan agen-agen perjalanan menyambut gembira kabar ini.
Di tengah lesunya industri perjalanan, pembolehan kembali perjalanan umrah, akan membuka secercah harapan. Namun, masalahnya tak sesederhana itu. Lapisan persoalan-persoalan segera menghadang. Dua hal yang akan saya kemukakan.
Pertama, dalam situasi pandemi, melakukan perjalanan jauh dalam waktu yang lama, tak terkecuali umrah, apakah lebih banyak membawa maslahat atau madharat? Ini pertanyaan paling asasi.
Bagi Anda yang akrab dengan literatur hukum Islam, akan segera tahu bahwa tujuan hukum Islam adalah maqashid al-syari’ah, yang sederhananya diartikan sebagai tujuan syari’ah atau hukum Islam.
Dalam teori ini, syariah datang kepada manusia untuk menjaga atau memelihara lima aspek: agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), keturunan (hifdz al-nasl), akal (hifdz al-‘aql), dan harta (hifdz al-mal).
Maka, pembatasan perjalanan umrah, misalnya, sekilas tampak sebagai membatasi kebaikan. Namun, secara mendasar di dalamnya terdapat misi menyelamatkan jiwa. Itulah salah satu tujuan syariah Islam diturunkan ke dunia.
Maka, jika untuk menjalankan syariat, namun bertentangan dengan prinsip syariat yang lain, tujuan paling utamalah yang harus didahulukan. Siapa yang bisa menyangkal bahwa menjaga jiwa manusia merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan.
Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), pada awal-awal pandemi ini menyerang, segera menutup masjid-masjid di Singapura untuk ibadah bersama, seperti shalat Jumat. Kritik datang bertubi-tubi. Namun, MUIS teguh pendirian.
Salah satu kritik itu menyebut kenapa harus takut kepada pandemi, dan bukan takut kepada Allah? Hidup mati manusia di tangan Allah, bukan karena pandemi. Logika maqashid al-syarī’ah dihadirkan oleh MUIS untuk menjawab kritik itu: bahwa perwujudan takut kepada Allah itu adalah dengan cara menjaga jiwa manusia dan memelihara kehidupan.
Umrah di Tengah Kemiskinan
Kedua, data tentang PHK dan peningkatan angka kemiskinan di atas memiliki korelasi dengan hal ini. Kelompok masyarakat manakah yang akan memanfaatkan peluang pembolehan kembali perjalanan umrah ini? Pastilah kelompok berpunya.
Lalu, apakah sekiranya mereka menjalankan ibadah umrah ini untuk pertama kalinya atau kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya? Di sinilah, lalu menengok kembali pandangan Yusuf Qardhawi tentang prioritas ibadah menjadi penting. Qardhawi melalui teori yang ia sebut sebagai fiqh al-awlāwiyat (fiqih prioritas), merumuskan prinsip tentang amalan-amalan manakah yang harus didahulukan.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Abdul al-Salam Ali al-Karbuli dalam Fiqh al-Awlawiyāt fī Zhilāli Maqāshidi al-Syarī’ah al-Islamiyyah (2014).
Secara mendasar, fikih prioritas bermakna meletakkan segala sesuatu sesuai skala urutannya secara proporsional (adil), baik dari segi hukum, nilai, maupun pelaksanaan. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syariah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh wahyu dan dibantu oleh akal.
Jika mengambil alur pemikiran Yusuf Qardhawi dan Ali al-Karbuli tentang fikih prioritas ini, maka pandangan tentang perjalanan umrah di masa pandemi ini bisa digariskan. Jika seseorang hendak menjalankan umrah untuk pertama kalinya, maka sepanjang ia tidak memiliki halangan, dan aneka prosedur kesehatan yang akan menjaga jiwanya bisa dipenuhi, secara rasional keinginan itu bisa diterima.
Akan tetapi, jika umrah pada masa pandemi ini adalah umrah untuk yang kesekian kalinya, dengan menggunakan paradigma fiqh al-awlawiyāt Yusuf Qardhawi, ini bukan termasuk ibadah yang harus diprioritaskan. Lalu apa yang harus diprioritaskan?
Data tentang PHK dan angka kemiskinan yang saya kutip di atas adalah jawabannya. Dengan kata lain bisa dirumuskan bahwa mengumbar hasrat menjalankan ibadah sunnah, sementara di sisi lain terdapat kemiskinan yang meningkat, adalah perbuatan yang tak terpuji, dan tidak termasuk prioritas.
Jihad Melawan Nafsu
Al-Quran berbicara tentang makna menolong sesama manusia ini. Prinsip yang digariskan dalam Surah al-Maidah ayat 32, berbunyi: “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ahmad Mustafa al-Maraghi, dalam Tafsir al-Maraghi Jilid 2, halaman 424, menulis penjelasannya. Menurutnya, “Wa man kana sababan fi hayati nafsi wahidah bi-inqadliha min mawt… fa ka’annama ahya al-nasa jami’an.” Barangsiapa yang menjadi sebab bagi kehidupan jiwa seseorang, dengan cara menyelamatkannya dari kematian, maka sesungguhnya ia seperti menghidupkan seluruh manusia.
Lebih lanjut, al-Maraghi menulis: “Wa fī al-āyati irsyādun ilā mā yajibu min wahdati al-basyari wa harsi kulli minhum ‘alā hayāti al-jamī’ wa al-‘ibti’ādi ‘an dharari kulli fardin.” Dan di dalam ayat ini terdapat petunjuk tentang kewajiban untuk menjaga kesatuan kemanusiaan dan menjaga kehidupan satu sama lain, serta menjauhkan setiap individu dari hal-hal yang membahayakan.
Memang tak mudah membumikan argumen semacam ini. Bagi mereka yang sedang mengalami euforia beragama, pandangan fikih prioritas yang secara sekilas seolah-olah melarang orang beribadah ini, akan dengan mudah direspon sebagai pemikiran tak religius. Bahkan pemikiran yang merusak agama. Namun, kembali kepada maqāshid al-syarī’ah, terang bahwa tujuan agama adalah menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.
Saya belum menjalankan ibadah haji. Tetapi, dengan kuasa dan kasih sayang Allah, kaki saya telah menginjak Makkah dan Madinah saat menunaikan ibadah umrah tahun 2018. Saya tak memungkiri, kerinduan untuk kembali menikmati kesyahduan ibadah di Masjid al-Haram (Makkah al-Mukarramah), dan Masjid Nabawi (Madinah al-Munawwarah) selalu menggelora dalam jiwa.
Inilah alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang berangkat umrah dan bahkan haji berkali-kali. Tapi apakah harus memaksakan diri untuk memenuhi gelora itu? Jawabannya tidak tunggal.
Jawabnya bisa “ya”, jika tak ada halangan apapun, baik halangan syari maupun non-syari. Halangan non-syari itu bisa berwujud dalam bentuk halangan māli-iqtishādi atau ijtimā’i. Halangan māli-iqtishādi makna lugasnya adalah saya tak memiliki cukup modal untuk mewujudkan hasrat rindu pada Baitullah itu.
Sementara halangan ijtimā’i bermakna, saya memiliki cukup modal, tetapi di lingkungan sekitar banyak sekali pihak-pihak yang memerlukan uluran tangan, yang jika tak ditolong akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup mereka.
Namun, dalam hal ada halangan-halangan yang bersifat ijtimā’i tadi, misalnya, haruskah seseorang memaksakan diri berangkat kembali umrah untuk yang kesekian kalinya, sementara di lingkungan sekitar terdapat orang-orang yang terpaksa menahan perih hari karena tak mampu menggapai pendidikan, bahkan yang paling dasar sekalipun?
Pada dasarnya, beribadah, apapun bentuknya, tak terkecuali umrah, adalah hak individual. Namun, rasanya sulit dipahami nalar syariah, jika menjalankan sebuah amal ibadah atas nama syariah, dan pada saat yang sama mengesampingkan prinsip dan tujuan syariah yang lain.
Barangkali di sinilah terletak makna jihād al-nafs (jihad melawan diri sendiri). Seperti sabda Nabi Muhammad: “Jihad yang lebih berat adalah melawan diri sendiri.”
Nah, dalam penentuan prioritas ibadah seperti dibicarakan di atas, sesungguhnya telah berlangsung jihād al-nafs tersebut. Wallāhu a’lam bi al-shawwāb. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post