PWMU.CO – Wakaf Harta dan Jiwa Jenderal Soedirman untuk Negara. Fakta ini harus diungkap di tengah gerakan wakaf uang yang diluncurkan Presiden Joko Widodo.
Ternyata tokoh yang lahir dari rahim Muhamamdiyah Panglima Besar Jenderal Soediman sudah membuktikannya. Perhiasan istrinya diual untuk keperluan logistik pasukan gerilya yang dia pimpin. Bukan hanya harta, bahkan Soedirman telah ‘mewakafkan’ jiwanya untuk negara.
Tepat 71 tahun yang lalu bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar Jenderal Soedirman. Lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jenderal Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 di rumah peristirahatan tentara Magelang dalam usia 34 tahun sebagai seorang mujahid, husnul khatimah biidznillah.
Bukan tentara musuh yang bisa menghentikan Soedirman, bukan juga lawan-lawan politiknya, tetapi Allah Azza wa Jala yang berkehendak memensiunkan Jenderal Soedirman sesuai cita-citanya: mundur dari dinas tentara setelah penyerahan kedaulatan Indonesia sebagai pertanda Indonesia benar-benar merdeka.
Jika para pengagum Bung Karno menyematkan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno mengacu pada kelahiran dan wafat Bung Karno yang sama-sama terjadi pada bulan Juni, maka pas kiranya bulan Januari disebut sebagai bulan Jenderal Soedirman.
Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia dijadikan waktu pensiun—karena sang jenderal merasa demikianlah tanggung jawab besarnya di masa revolusi 1945-1949—dua sahabat karib Jenderal Soedirman bersama para diplomat dan pasukannya yang kemudian mampu mewujudkan harapan sang Panglima Besar.
Tanggal 27 Desember 1949 sebagai hari bersejarah ketika Bung Hatta sebagai ketua delegasi Konferensi Meja Bundar menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Yuliana di Belanda dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Bung Sultan) menerima penyerahan kedaulatan dari wakil kerajaan Belanda di Jakarta.
Tidak berlebihan menyebut Bung Hatta dan Bung Sultan sebagai karib dekat Jenderal Soedirman. Bung Hatta mengembalikan posisi jabatan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar ketika Bung Hatta menjabat Perdana Menteri pada Januari 1948, setelah sebelumnya jabatan Jenderal Soedirman diturunkan menjadi Panglima Angkatan
Perang Mobil oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Sebagai Panglima Angkatan Perang, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengangkat Komodor Suryadarma.
Sedangkan Bung Sultan adalah sosok yang menjamin kehidupan dan keselamatan keluarga Jenderal Soedirman selama perang gerilya, dengan memberikan tempat tinggal di dalam lingkungan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada istri dan putra-putri Jenderal Soedirman.
Gemblengan Muhammadiyah
Perjalanan hidup dan karier Jenderal Soedirman tidak bisa dilepaskan dari gemblengan Muhammadiyah, baik sebagai aktivis Hizbul Wathan, Pemuda Muhammadiyah, maupun guru sekolah Muhammadiyah.
Gemblengan persyarikatan yang menjadikan dia memiliki bakat kepemimpinan sehingga pemerintah pendudukan Jepang merekrut dan mengirimnya untuk dididik menjadi perwira PETA. Setelah Proklamasi 17-08-1945, dengan pangkat Kolonel Soedirman memimpin pasukan Badan Kemanan Rakyat di wilayah Banyumas.
Gaya diplomasinya yang ulung mampu mendapatkan pampasan senjata milik pasukan Jepang tanpa kekerasan dengan perolehan senjata yang lebih banyak daripada pasukan lain yang menempuh jalan peperangan dalam merebut persenjataan pasukan Jepang.
Nama Kolonel Soedirman menjadi harum di kalangan pasukan karena “sumbangan” senjata pasukannya kepada pasukan lain yang sangat banyak. Keberhasilan demi keberhasilan pasukan Kolonel Soedirman menjadikannya sosok yang disegani hingga terpilih sebagai Panglima Angkatan Perang Tentara Keamanan Rakyat pilihan panglima-panglima divisi Jawa dan Sumatera.
Suara yang memilih Kolonel Soedirman sebagai Panglima Divisi Banyumas mengungguli suara yang memilih Jenderal Oerip Soemoharjo yang menjabat kepala staf Tentara Kemanan Rakyat. Hasil pemungutan suara dan musyawarah para panglima divisi menunjuk Kolonel Soedirman sebagai Panglima Angkatan Perang dan Jenderal Oerip Soemoharjo bertahan sebagai kepala staf.
Presiden Sukarno selanjutnya melantik Kolonel Soedirman dan memberikan kenaikan pangkat sebagai Jenderal. Jelas sudah bahwa Jenderal Soedirman adalah Panglima Angkatan Perang pilihan para koleganya sebagai sesama panglima divisi, bukan panglima pilihan Presiden.
Kepercayaan para kolega dijawab Jenderal Soedirman dengan keberhasilannya memimpin beberapa pertempuran, yang melegenda, antara lain dalam Palagan Ambarawa.
Puncaknya ketika terjadi agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II 1948 yang dilakukan Belanda terhadap Ibukota Negara Yogyakarta. Jenderal Soedirman dengan penuh dedikasi menjalankan tanggungjawabnya.
Ketika Presiden dan Wakil Presiden ditawan penjajah, Jenderal Soedirman mempertahankan eksistensi negara bersama angkatan perangnya dengan bergerilya. Dari dalam hutan, Jenderal Soedirman mampu mengendalikan pasukan yang menjaga Ibukota Yogyakarta bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Jalinan komunikasi dari pihak Jenderal Soedirman dalam hutan dengan pihak Sultan menghasilkan usulan mengadakan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto selaku komandan pelaksana di lapangan yang disepakati Jenderal Soedirman bersama Bung Sultan sukses menguasai Yogyakarta dalam waktu enam jam.
Jual Perhiasan Istri
Selama dalam perjalanan gerilya Jenderal Soedirman hidup dari bantuan masyarakat desa yang dilewati rute gerilya. Seringkali bantuan yang diberikan masyarakat ala kadarnya tetapi tidak mengurangi semangat pasukan gerilya Jenderal Soedirman.
Hingga pada suatu ketika Jenderal Soedirman menyadari akan pentingnya makanan bergizi untuk pasukannya, sedangkan untuk meminta tambahan anggaran dari negara atau meminta dari masyarakat juga merasa tidak pantas.
Dalam suatu kesempatan, Jenderal Soedirman mengutus kurir yang bertugas mengantar surat dari pedalaman hutan ke pusat pemerintahan di Yogyakarta untuk menemui istrinya.
Sang istri sudah paham apa yang harus dilakukannya dengan menyerahkan perhiasan pada pasukan utusan Jenderal Soedirman untuk dibelikan perbekalan makanan-makanan bergizi: ayam, kambing dan lain-lain, sebagai pelengkap makanan ala kadarnya yang diperoleh dari sumbangan masyarakat.
Demikian totalitas Jenderal Soedirman dan keluarganya berkorban demi negara. Menjadi kewajiban warga Muhammadiyah “menghidupkan” semangatnya dalam bermuhammadiyah, serta dalam berbangsa dan bernegara.
Cita-cita dia setelah pensiun sangat sederhana, ingin merawat kebun kelapa peninggalan mertuanya. Jenderal Soedirman bukan berharap konsesi kelapa sawit, hutan, atau tambang apalagi komisaris perusahaan negara.
Manusia berkehendak, Allah yang lebih berhak atas hamba. Bukan kebun kelapa yang dirawat Jenderal Soedirman kemudian, melainkan kebun akherat telah disiapkan Allah untuknya agar tidak melekat fitnah dunia pada diri seorang mujahid besar yang dilahirkan Muhammadiyah dan diwakafkan untuk negara. (*)
Penulis Prima Mari Kristanto. Editor Mohammad Nurfatoni.