PWMU.CO– Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tinggalkan istilah deradikalisasi untuk mengatasi orang yang terpapar radikalisme. Sebagai gantinya menggunakan pendekatan moderasi beragama.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika bersilaturahim ke Pusat Dakwah Muhammadiyah Jl. Menteng Raya, Jakarta, Jumat (29/1). Kapolri yang ditemani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono diterima oleh Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dan Ketua Anwar Abbas.
”Kami sami’na wa atho’na dengan menggunakan pendekatan moderasi beragama dalam mengatasi persoalan radikalisasi,” kata Listyo Sigit seperti dilaporkan muhammadiyah.or.id.
Listyo juga mengatakan, silaturahim yang dilakukan untuk menguatkan dan meningkatkan sinergi antara kepolisian dengan Muhammadiyah.
”Kami ingin merangkul semua pihak, khususnya dengan ulama dan ormas-ormas apalagi kami ketahui Muhammadiyah adalah salah satu organisasi umat terbesar dari tahun 1912, sehingga wajib bagi kami untuk bisa bersinergi,” jelasnya.
Lebih Humanis
Listyo juga mengatakan dalam menjalankan penegakan hukum akan mengedepankan humanisme dan bagaimana menjadikan lembaga kepolisian sebagai lembaga yang transparan yang melayani.
”Untuk itu kami harus terus mendapatkan masukan, karena memang kami tidak bisa melihat potret kami sendiri jadi harus ada yang memotret dan yang memotret adalah dari bapak-bapak dan ibu-ibu di Muhammadiyah dan juga Aisyiyah,” imbuhnya.
Dia berkomitmen mengubah pendekatan penanganan radikalisme dan terorisme dengan cara yang lebih humanis.
”Bagaimana menghadapi tantangan ke depan terhadap saudara-saudara kita yang terpapar ajaran-ajaran tertentu, maka pemahaman dengan menggunakan moderasi beragama tentunya akan jauh lebih bermanfaat barangkali daripada kita menggunakan pendekatan yang bersifat hard,” tutur Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Menurut Listyo, masalah ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tidak berhubungan dengan agama manapun. Dia menyampaikan, tidak ada ajaran agama yang mengajarkan seperti terorisme, intoleransi. Semua agama mengajarkan kasih sayang.
”Sudah jelas, khususnya muslim yang kita semua umat muslim diajarkan untuk memahami tentang rahmatan lil alamin. Sudah jelas,” terangnya.
Moderasi beragama yang dikutip oleh Listyo, adalah konsep yang ditawarkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam melawan terorisme. Konsep itu dijabarkan oleh Haedar Nashir pada upacara pengukuhan guru besar ilmu sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis, 12 Desember 2019 silam.
Dalam orasi berjudul Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi, Haedar mengusulkan agar pemerintah mengganti konsep deradikalisasi dengan gerakan moderasi. Haedar menguraikan penjelasan bahwa pendekatan secara keras hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Selama ini, Muhammadiyah berulangkali mengkritik pendekatan kepolisian melawan terorisme dan deradikalisasi yang justru melahirkan stigma berkepanjangan pada umat Islam.
Tagline Sahabat Umat
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti berkomentar Muhammadiyah mendukung penuh keputusan pendekatan moderasi beragama itu.
”Muhammadiyah mendukung program-program Pak Kapolri terutama yang berkaitan dengan moderasi. Jadi Pak Kapolri menyampaikan bahwa moderasi itu adalah program yang akan beliau kembangkan, bukan program deradikalisasi,” tutur Abdul Mu’ti.
”Kemudian ada dukungan penuh kepada Pak Kapolri untuk melakukan pendekatan yang lebih humanis, pendekatan yang lebih merakyat dan kami sempat tadi mengusulkan satu tagline baru yaitu Polisi Sahabat Umat,” jelasnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto