Kasus KM 50 di Tangan Kapolri Baru oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Sejak pelaporan Komnas HAM kepada presiden dua pekan yang lalu hingga kini tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI. Jika ada itikad baik dan serius semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan. Kini bola berada di tangan presiden.
Peristiwa yang dikenal dengan kasus KM 50 ini sejak awal penanganan Komnas HAM sudah dinilai bermasalah karena janggal dalam menyimpulkan dan narasi rekomendasi. Fakta pun terpotong dan kurang lengkap. Publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM. Bahkan kekecewaan sampai pada usul pembubaran Komnas HAM.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang berjanji menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM di depan DPR belum ada kabarnya. Hingga kini tidak diumumkan siapa penembak dan pelanggar HAM yang menjadi pelaku itu, selain pernyataan bahwa mereka adalah anggota kepolisian. Sebetulnya pekerjaan termudah yang menjadi berbelit-belit.
Dulu di kasus Novel Baswedan untuk menemukan siapa penyiram air keras butuh waktu tiga tahun lebih. Ternyata pelakunya anggota polisi sendiri. Sungguh ironi. Ujung dari cerita novel model ini adalah vonis 1,5 dan 2 tahun bagi pelakunya. Sementara aktor intelektual bablas angine.
Apakah butuh waktu tiga tahun juga untuk dapat diumumkan nama pelaku pembunuh anggota laskar FPI itu sebagaimana kasus Novel? Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario cerita novel yang menarik dan logis untuk menyelamatkan wajah kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri?
Jadi Telenovela
Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah. Kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat hingga tercatat dengan tinta hitam nantinya menjadi rezim yang paling buruk dalam sejarah Republik Indonesia. Tertunda tapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu.
Pembunuhan 6 laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM artinya bukan pembunuhan biasa, harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu unwilling dan unable. Enggan dan tidak mampu. Maka bisa berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar harus ikut turun tangan.
Kasus KM 50 jangan seperti kasus Novel Baswedan atau cerita novel yang bertele-tele sehingga menjadi telenovela. Dunia sudah membaca duduk perkaranya, semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang menutup-nutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik.
Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai. (George Orwell).
Kasus KM 50 ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat ! (*)
Bandung, 1 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto