Bank PKU Muhammadiyah, Aspirasi Arus Bawah, kolom oleh Prima Mari Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – PT Bank Syariah Indonesia (Tbk) resmi beroperasi pada 1 Februari 2021, Ahlan wa sahlan. Berkode emiten BRIS, PT Bank Syariah Indonesia (Tbk) melantai di Bursa Efek Indonesia melanjutkan kiprah PT BRI Syariah (Tbk).
Menyikapi pernyataan Persyarikatan Muhammadiyah perihal berdirinya Bank Syariah Indonesia sebagai bank holding syariah BUMN yang disampaikan secara resmi pada 22 Desember 2020, sejumlah kalangan menginginkan Muhammadiyah memiliki bank sendiri.
Bebarapa orang kader dan simpatisan yang menyebut dirinya Tim 20 melakukan survei secara online perihal minat warga dan simpatisan jika Muhammadiyah memiliki bank.
Hasil survei cukup mengejutkan, 90 persen dari sekitar lima ribu responden yang mengisi kuisioner menyatakan keinginannya agar Muhammadiyah mendirikan bank.
Hasil kuisioner yang demikian viral di media sosial bahkan ditanyangkan di sejumlah media online warga Muhammadiyah buru-buru dibantah oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah: survei tersebut bukan inisiatif resmi dari Muhammadiyah.
Sikap PP Muhammadiyah layak diapresiasi mengingat isu penarikan dana amal-amal usaha Muhammadiyah dari bank-bank syariah BUMN demikian sensitif. Kearifan menjaga sikap agar situasi tetap kondusif penting agar tidak terjadi rush (penarikan dana bank secara masif) yang bisa mengganggu ekonomi masyarakat baik skala lokal maupun nasional seperti pada krisis moneter tahun 1998.
Namun inisiatif tidak resmi sejumlah kader dan simpatisan pun layak diapresiasi, setidaknya menjadi gambaran awal bagaimana ghirah warga dan simpatisan Muhammadiyah untuk berjamaah ekonomi dalam sebuah institusi perbankan.
Sejarah Bank Islam
Bank hakikatnya bukan lembaga asing bagi umat Islam. Bahkan bank diyakini sebagai warisan peradaban Islam. Sebagian ahli tarikh Islam memperkirakan sistem bank dalam bentuk sederhana telah ada pada masyarakat Quraisy.
Para pelaku usaha dalam masyarakat Quraisy seringkali menrima titipan dana warisan anak yatim dan para janda agar diputar dalam kegiatan usaha. Selain modalnya sendiri yang cukup besar, tambahan modal dari “nasabah” anak-anak yatim dan para janda memberi nilai tambah pada permodalan usaha para pedagang Quraisy.
Bentuk bank secara formal untuk tujuan komersial terjadi pada masa Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad antara tahun 750—1258. Berangsur-angsur sistem perbankan Abbasiyah diadopsi kekhalifahan Andalusia di Spanyol hingga diadopsi ke seluruh Eropa dan dunia seiring dengan bangkitnya kejayaan Eropa melalui penjelajahan samudra, imperialisme dan kolonialisme sejak Abad XIV hingga sekarang.
Pemerintah Hindia Belanda mengenalkan bank pada masyarakat Jawa pada tahun 1881 sejak berdirinya De Javasche Bank (DJB). Dikutip dari wikipedia.com, DJB merupakan aspirasi bawah pengusaha Belanda yang menginginkan adanya bank untuk keperluan usahanya.
Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau disebut Oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Tanggal 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB).
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881.
Keberadaan DJB membuat masyarakat Jawa melek perbankan, karena selain melayani para pengusaha asing, DJB juga menerima nasabah dari kalangan masyarakat pribumi. Selain membuat masyarakat pribumi melek bank, DJB juga membuat sebagian kalangan pribumi terpelajar melek manajemen bank kemudian mendirikan bank khusus pribumi.
Inspirasi Bank Pertolongan
Sekelompok bangsawan di Purwokwerto dengan tokohnya Raden Bei Aria Wiryaatmaja pada tanggal 16 Desember 1895 mendirikan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden—Bank Pertolongan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto—suatu lembaga keuangan yang melayani orang-orang pribumi.
Bank Pertolongan sebagai bentuk dedikasi kaum priyayi pada masyarakat pribumi yang tidak terjangkau layanan DJB dan merasakan tekanan lintah darat bunga tinggi dari praktik simpan pinjam yang dilakukan sebagian oknum feodal.
Sebagian literatur menyebutkan modal awal dari kas Masjid Jami Purwokerto, tetapi ada yang membantah bahwa modal awal berasal dari patungan jamaah masjid, bukan dari kas masjid.
Bank Pertolongan, nama yang mengingatkan warga Muhammadiyah pada ”Penolong Kesengsaraan Oemoem“ (PKO) cikal-bakal amal usaha Muhammadiyah kesehatan tahun 1920 yang berkembang pesat hingga saat ini.
Bank Pertolongan Raden Bei Aria Wiryaatmaja yang awalnya lebih berorientasi sosial daripada komersial berkembang pesat. Saat ini menjadi Bank Rakyat Indonesia sebagai bank terbesar di Indonesia.
Demikian juga De Javasche Bank saat ini menjadi Bank Indonesia, bank sentral sebagai last of the last resort, induk dari seluruh bank yang mengatur sistem moneter di Indonesia.
Sejarah De Javasche Bank dan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank, menyiratkan bahwa bank bisa tumbuh berdasarkan aspirasi dari bawah khususnya para pelaku ekonomi. De Javasche sebagai aspirasi para pengusaha mapan dan De Poerwokertosche sebagai aspirasi para pengusaha pribumi yang skala usahanya lebih kecil.
Keberadaan keduanya pun saling melengkapi bukan bersaing saling mematikan, terbukti hingga kini keduanya mampu bertahan melintasi jaman. Para elite pemerintah kolonial dan priyayi yang memahami aspirasi bawah mampu mewujudkan bank yang dibutuhkan masyarakat pelaku ekonomi, bank-bank yang tumbuh berdasarkan aspirasi masyarakat terbukti mampu tumbuh dan berkembang pesat melampaui abad
Mengapa Bank PKU Muhammadiyah?
Aspirasi bawah warga Muhammadiyah yang terdiri dari para kader dan simpatisan selayaknya diapresiasi baik oleh pemerintah maupun elite Muhammadiyah. Pemerintah tidak perlu merasa tersaingi bahkan paranoid ketakutan berlebihan jika Muhammadiyah mendirikan bank sendiri.
Demikian juga elite Muhammadiyah tidak perlu ewuh pakewuh, seolah-olah hendak memboikot atau tidak mendukung kinerja Bank Syariah Indonesia (BSI) yang baru efektif bulan Februari 2021 mendatang.
Dalam konferensi pers 22 Desember 2020 jelas, sikap kritis Muhammadiyah pada BSI bertujuan agar akses pembiayaan syariah untuk pelaku usaha startup (rintisan), UKM dan koperasi tidak terpinggirkan setelah akumulasi aset BSI semakin besar.
Tanpa harus menunggu apa dan bagaimana BSI yang akan datang, perlu kiranya PP Muhammadiyah menindaklanjuti aspirasi dari bawah: cabang, ranting, kader, dan simpatisan untuk mendirikan Bank Muhammadiyah.
Bank PKU (Penolong Kewirausahaan Umum) barangkali nama yang lebih cocok dengan visi misi serta spirit al-Maun untuk memberdayakan startup (usaha rintisan), UKM, dan koperasi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip komersial.
AUM Kesehatan yang berangkat dari misi sosial Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) kini bisa berkembang sangat pesat. Tidak alasan bagi Bank PKU Muhammadiyah mengikuti jejak sukses amal-amal usaha senior, bisa tumbuh dan berkembang pesat berlandaskan akhlakul karimah ciri khas amal usaha Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni