Tegakkan Syariah Tak Perlu Tunggu Khilafah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Mana di dunia ini ada Islam kaffah. Apakah Islam yang ada di Yaman, Saudi, Mesir, Turki, Iran atau negara-negara Arab teluk itu kaffah? Ahh, nonsens saya bilang. Kita sama, tak jauh berbeda.
Semua kita sedang berikhtiar menuju kaffah tidak ada yang final. Semua sedang dalam proses, sebab kita adalah pejalan. Ada ratusan bahkan puluhan ribu syariat Islam yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu legitimasi khilafah. Menolong dan suka membantu salah satu tegakkan syariah.
Charities Aid Foundation (CAF) menempatkan Indonesia dalam daftar negeri paling peduli dan suka membantu terhadap sesama. Menjadi relawan dan empati yang luar biasa. Masyaallah. Bersyukur masih banyak orang baik di Indonesia.
Banyak tetangga, kerabat dekat, handai taulan dan kawan yang suka membantu dan menolong. Ini Islami banget. Hanya orang ruwet yang mencela negeri sendiri. Orang kita punya kebiasaan saling berbalas kebajikan, saling berkunjung dan weh-weh.
Ada beberapa orang yang mempermalukan negerinya di hadapan orang asing. Kemudian pulang kembali ke negeri asalnya. Meminum airnya, memetik buahnya, melahap semua makanannya tanpa rasa malu. Kemudian Nabi saw berpesan: Malu itu bagian dari iman dan jika tak punya rasa malu berbuatlah sesukamu.
Hubbul wathan minal iman, meskipun ini bukan hadits tapi ungkapan dari para kiai, itu artinya bersyukur dan syukur itu bagian iman.
Dasar pencela. Berlomba-lomba membangun masjid dibilang bermegah-megahan. Masjid rusak dan kotor dibilang hubud dunya bahkan fasik. Datang berbondong di majelis maulid dan dzikir dibilang riya, tak ada tuntunan. Berdiam diri di rumah dibilang pemalas alias kikir. Jadi apa yang antum inginkan.
Beragama seperti Belanja
Tak urung betapa Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fathurrahman Kamal mengemukakan: ”Betapa sulitnya ketika Muhammadiyah misalnya, mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan, banyak ditentang oleh orang luar dan delegitimasi secara internal. Kita lihat di grup-grup kita. Orang beragama saat ini persis seperti orang masuk ke suatu mall, atau super market, dia pilih apa yang dia suka.”
Ngakunya Indonesia tapi lebih mencintai Turki. Ber-Muhammadiyah tapi berimam pada FPI dan beribadat cara Salafi. Ambil sesuka hati sesuai yang dimau. Pernyataan Kiai Ahmad Siddiq yang menyebut bahwa Pancasila adalah final, NKRI harga mati adalah ikhtiar agar semua kita mencintai negeri dengan sepenuh hati.
Tapi apakah syariat bisa ditegakkan melalui kekuasaan dulu atau sebaliknya hanyalah hipotes bisa benar, bisa pula sebaliknya. Apakah khilafah tegak karena masyarakat yang Islami atau masyarakat yang Islami membentuk khilafah? Ali Syariati sebagaimana Al Mawardi tak peduli mana di antara keduanya lebih dahulu dan efektif berjalan.
Meski Abu A’la Maududi dan Taqqiyuddin An Nabhani memberi catatan khusus bahwa syariat Islam tegak bila hanya ada khilafah, tapi sayangnya, saya tak percaya dengan tesis ini, sebab patah karena realitasnya umat Islam telah leluasa menjalankan syariat Islam tanpa khilafah.
Silakan saja berputar-putar pada hipotesis itu, sementara biarkan Muhammadiyah dan NU bekerja keras membilang kebajikan dan menolong banyak kesengsaraan umum. Menegakkan syariat Islam dengan cara yang dipahami. Mari berlomba tegakkan syariat tak perlu mencela yang kebetulan cara dan manhaj nya berbeda. Wallahu taala a’lm. (*)
Editor Sugeng Purwanto