Ketika Pengikut Melaknat Pemimpin oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan keagamaan.
PWMU.CO– Surat al-Ahzab (33) ayat 66-68 mengingatkan penyesalan di hari akhir para pengikut atau pendukung kepada pemimpin yang dipilih dan diabdikan, dielu-elukan bahkan dikultuskan. Sementara pemimpin hanya mengarahkan pada urusan duniawi semata. Akhirnya mereka bersama-sama masuk ke dalam neraka.
Akibat kepatuhan yang membabi buta, wajah mereka dibolakbalikkan di neraka. Lalu berkata, ”Alangkah baiknya jika kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul (ayat 66) dan mereka berkata, ” Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)” (ayat 67).
Tunduk dan patuh pada jabatan, pangkat, kekayaan serta pengaruh penguasa tanpa landasan nilai moral dan spiritual menyebabkan terjerumus dan mengikuti jalan sesat. Hal ini adalah akibat dari pemimpin dan pembesar yang mengajak, memprogram, serta mempropagandakan kesejahteraan material dan kebahagiaan yang semata bersifat profan.
Mengabaikan kebenaran moral adakah konsekuensi dari kepemimpinan yang hanya mengumbar hawa nafsu dan berorientasi pada sukses infrastruktur duniawi. Zalim dan menindas gerakan spiritual keagamaan. Gerakan yang selalu mengingatkan penguasa agar kekuasaan dijalankan dengan amanah dan jujur. Penguasa yang mudah menuduh rakyat dengan sebutan ekstrem dan radikal.
Di hari kiamat saat siksa pedih di neraka, ketika pengikut bukan saja menyesali atas sikap dirinya, tetapi juga mengutuk pemimpin yang dipuja dan diikutinya dahulu. Memohon agar si pemimpin itu disiksa dengan berat dan berlipat (ayat 68).
Penyesalan yang Terlambat
Betapa dahsyat penyesalan dan sikap menyalahkan pengikut (follower) pada pemimpin (leader) di tengah penderitaan abadi keduanya di neraka. Akibat selama di dunia terbiasa membuat orang menderita. Kroni dan oligarki keserakahan dari kekuasaan yang dinikmati dan dibagi-bagi. Kenikmatan yang berefek kesengsaraan bersama .
Bersama-sama memperolok-olok dan meminggirkan agama. Menjauh dari jalan Allah dan membenci risalah nubuwah. Syariah dimusuhi, jihad ditakuti, fanatisme dihancurkan dan nilai moral diputarbalikkan.
Melumpuhkan orang beriman dengan bahasa toleransi dan moderasi. Kemunafikan yang dibudidayakan dan kekafiran yang dilestarikan.
Di dunia sangat jumawa karena segala sarana ada. Kaya, kuasa, dan senjata. Merasa tak ada kekuatan apapun yang dapat memperdaya. Dibangun budaya berlomba mendekat Istana yang mampu diubah menjadi berhala.
Tapi semua ada masa. Di depan ada ancaman siksa. Lalu pengikut menyesal dan menyeru dengan ujaran benci dan murka. Dalam putus asa dan tak berdaya hanya mampu berkata: ”Robbana aatihim dhi’faini minal adzabi wal ‘anhum la’nan kabiiro.”
”Wahai Tuhan kami, timpakanlah mereka dengan azab dua kali lipat, dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar !” (*)
Bandung, 5 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto