Buto Cakil Nyonthong oleh Emha Ainun Nadjib, budayawan.
PWMU.CO– Dalam jejer wayang kulit, Buto adalah bagian dari golongan antagonis yang diletakkan berjejer di sebelah depan kiri dalang. Buto lazim juga disebut Rasekso atau Raksasa atau Denawa.
Buto yang paling terkenal di kalangan penggemar wayang atau bahkan hampir semua orang Jawa mengenal namanya. Buto Cakil. Tokoh antagonis yang duelnya melawan Arjuna sangat legendaris dan menjadi wacana sehari-hari dalam pergaulan masyarakat Jawa.
Buto Cakil mulutnya lebar, bagian bawahnya menonjol ke depan. Kalau ada orang yang dagu dan mulut bawahnya agak menonjol ke depan, digelari nyakil atau mbuto cakil.
Itu bukan sekadar fisik. Itu lambang karakter juga. Banyak orang yang ekspresinya dalam komunikasi sosial nyakil, apalagi di zaman internet seperti ini. Hobinya sesumbar, tapi tidak berani adu arep.
Sukanya omong besar, tapi sembunyi di balik topeng abal-abal. Ngomong sesukanya, mulutnya duluan, baru pikiran dan hatinya menyusul tapi sudah terlanjur keduluan mulutnya.
Buto Cakil geraknya besar-besar arah kaki dan tangannya. Kepalanya selalu tengadah. Penampilannya seakan-akan ia paling jagoan di seluruh alam semesta. Buto Cakil mungkin muridnya Malaikat Izroil atau Yamadipati dalam wayang.
Nyakil
Ini bukan menunjuk orang perorang. Sejatinya setiap individu manusia punya potensi Buto dan punya dimensi Cakil. Sama dengan fakta bahwa setiap personal manusia punya bakat ahmaq (dungu), minimal pada suatu sisi dari wataknya, atau pada bagian tertentu dari mental dan kejiwaannya.
Juga saya. Jangan dipikir saya mengidentifikasi diri saya pada karakter agung Puntadewa atau shiddiq amanah seperti Bima atau tenang dan akurat seperti Arjuna, apalagi tangguh tanggon seperti Gatotkaca. Saya bahkan tidak jarang menemukan ahmaq di dalam jiwa saya sendiri. Saya sering kaget ternyata saya terkadang Buto Cakil juga.
Di sebuah kota Jawa Timur bagian timur, saya pernah nyakil. Gus Dur mengajak saya hadir acara di Parkir Timur Senayan, yang jadwal harinya sama dengan acara di kota timur itu. Sehingga terpaksa ditunda nunggu sesudah Senayan. Ketika acara di kota timur itu berlangsung, saya dimarahi oleh banyak gus dan kiai kenapa mengingkari janji sehingga acara tertunda. Padahal tertundanya acara itu karena pemimpin besar mereka sendiri yang mengajak saya di Senayan.
Karena narasi kemarahan dan protes kepada saya agak tajam dan keras, maka dimensi Buto Cakil saya tertusuk. Saya tidak langsung nyonthong sebagai Buto Cakil. Sampai waktu cukup lama saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam termin diskusi di Hotel Bima itu. Saya menjawab pelan-pelan, nada rendah dan penuh kesabaran. Saya menahan diri akting menjadi Puntadewa dulu. Baru setelah semua pertanyaan terjawab, saya nyakil, meskipun di bagian awal masih nada narasi Puntadewa:
”Dengan ini saya nyatakan bahwa rencana pentas Kiai Kanjeng di kota ini saya batalkan. Saya sendiri juga tidak akan pernah menginjakkan kaki saya di kota ini kalau perlu seumur hidup. Acara kita ini tertunda bukan karena saya menunda, tetapi karena saya bersimpati kepada pemimpin Anda dan saya memenuhi permintaannya untuk hadir acara beliau di Jakarta.”
Muncul Kesombongan
Kemudian Cakil naik podium: ”Kumpulkan semua gus-gus dan kiai-kiai seluruhnya di daerah Anda ini. Saya persilakan mereka menyerang saya, menyerbu, dengan senjata apapun. Silakan pakai pisau, pedang, bendho, parang, badik, sampai santet, tenung, gendam, sihir, hizib, atau apapun saja. Saya akan tadahi sendirian.”
Kemudian saya turun dari podium. Acara bubar. Saya keluar gedung. Semua kendaraan saya stop dengan berdiri merentangkan tangan di tengah jalan raya. Sebagian para peserta seminar, terutama panitia, mengejar saya ke jalan. Saya stop satu angkot. Saya naik. Ada siapa-siapa dari acara, saya suruh turun. Sopir angkot saya instruksikan untuk ngegas dan melaju ke arah terminal.
Ternyata sesampainya di terminal bis massa dari acara seminar sudah membludag memenuhi terminal. Sekitar 100 sd 200 orang. Saya turun dari angkot, seorang tua mendatangi saya. Berdiri dengan lututnya, dua tangannya ngapurancang dan berkata terbata-bata: ”Atas nama gus-gus semua di sini saya menyampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya, Cak”. Dijejeri seorang anak muda yang kelak menjadi anggota DPRD kota itu, bersikap sama dan menyatakan: ”Saya tetap murid sampeyan lho Cak… Saya tetap muridnya Cak Nun lho Cak…”
Puntadewa saya bocorkan sedikit tapi karakternya tetap Buto Cakil: ”Saya selalu memaafkan siapa saja di muka bumi ini bahkan sebelum mereka bikin kesalahan. Hati saya selalu ridha dunia akhirat. Tapi cangkeme direm…, mulutnya dijaga.”
Muncul Kelembutan
Akhirnya cipratan kelembutan Kanjeng Nabi menimpa kening saya dan merasuk ke kedalaman jiwa saya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
”Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Di tengah riuh rendah mereka berkerubung, saya meloncat masuk ke salah satu bis, langsung saya suruh berangkat. Padahal belum gilirannya, belum ada pengumuman bahwa bis ini boleh berangkat.
Saya tetap suruh sopirnya tancap gas. Akhirnya bis melaju keluar terminal dan mengarah ke barat. Masuk Lumajang, si sopir menoleh dan bertanya: “Nyuwun sewu Cak, niki enten nopo?” Maaf Cak, ini ada apa?
Saya bertanya ke kondektur berapa biaya untuk seluruh penumpang yang memenuhi kursi-kursi dalam bis itu. Kemudian saya membayar harga yang disebutnya. Setibanya di Terminal Probolinggo saya turun dan ganti bis ke Surabaya. Yusron Aminullah dan Rusdi Zaki yang bersama saya sejak sebelum acara, menarik napas panjang. Sampai hari ini saya menyesali Buto Cakil Nyonthong di awal 1990-an itu. (*)
Tulisan ini bisa juga dibaca di caknun.com.
Editor Sugeng Purwanto