PWMU.CO– Dinar dirham yang dipakai transaksi di Pasar Muamalah Depok bukan tergolong mata uang asing maka polisi tidak punya dasar hukum menangkap Zaim Saidi, pendiri pasar.
Hal itu dikatakan Ketua PP Muhammadiyah Dr Anwar Abbas menanggapi penangkapan Zaim Saidi dengan tuduhan menggunakan mata uang asing dalam transaksi melanggar pasal 9 KUHP dan pasal 33 UU No. 7/2011 tentang Mata Uang.
Anwar Abbas tidak bisa memahami aspek hukum persoalan ini. ”Apa dasar polisi menangkap Zaim Saidi yang menggunakan dinar dirham di Pasar Muamalah,” kata Anwar Abbas dalam rilisnya, Jumat (5/2/2021).
Dia membandingkan banyaknya transaksi wisatawan asing di Bali yang pakai uang asing, seperti dolar. ”Di Bali kita lihat banyak orang melakukan transaksi dengan dolar AS,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi ini.
Tentu saja maksudnya untuk memudahkan transaksi terutama dengan wisatawan asing, sambung dia, tapi ini tentu tidak bisa kita terima, karena akan membawa dampak negatif bagi perekonomian nasional.
Menurutnya, jika transaksi menggunakan uang asing berlangsung masif di Indonesia, maka kebutuhan rupiah akan menurun. Akibatnya bisa-bisa nilai tukar rupiah akan menurun. Situasi itu tidak baik bagi perekonomian nasional.
”Bisa dipahami mengapa UU Mata Uang mengharuskan penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran resmi di wilayah Indonesia. Karena salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah menjaga nilai tukar, maka BI harus mengawal pelaksanaan aturan tersebut,” tuturnya.
Pasar Barter
Anwar Abbas menilai, transaksi di Pasar Muamalah Depok, tidak menggunakan mata uang asing sebagaimana yang terjadi di Bali itu. Dinar dan dirham yang digunakan di pasar ini, bukan mata uang resmi negara asing, melainkan koin dari emas dan perak yang dibeli dari PT Aneka Tambang (Antam) atau dari pihak lainnya.”Itu tentu mereka bayar dengan mata uang rupiah,” tandasnya.
Karena itu Anwar Abbas berpendapat, transaksi di Pasar Muamalah bisa dikategorikan ke dalam tiga bentuk yaitu, pertama, sama dengan transaksi barter. Yaitu pertukaran antara komoditas emas atau perak dengan barang lainnya seperti TV, sepeda, makanan dan minuman, atau produk lainnya.
”Kedua, transaksi tersebut mirip dengan transaksi yang mempergunakan voucher. Karena yang akan berbelanja, membeli atau menukarkan terlebih dahulu uang rupiahnya ke dalam bentuk dinar dan dirham, baru mereka bisa berbelanja di pasar tersebut. Praktik transaksi mempergunakan voucher ini juga sudah banyak terjadi di negeri ini,” jelasnya.
Ketiga, tambah dia, dinar dan dirham yang mereka pergunakan itu mirip dengan penggunaan koin di tempat permainan anak-anak. Di mana kalau anak-anak ingin menggunakan mainan A misalnya, maka dia harus membeli koin dulu dengan rupiah. Lalu koin itulah yang digunakan untuk membayar permainan.
”Saya rasa kalau transaksi barter dan atau kita bertransaksi dengan menggunakan voucher dan koin tersebut, kan tidak ada masalah,” tandasnya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto