Konspirasi Anti Arab oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Ini berkaitan dengan HRS tokoh umat yang dikenal sebagai ulama yang berprinsip. Hijrah ke Arab Saudi karena tekanan di negeri sendiri. Dihormati dan dilayani dengan baik selama tinggal di kota suci Makkah. Bebas bergerak untuk beribadah. Tidak ada hambatan yang berarti baik secara politik maupun keimigrasian.
Kembali ke tanah air Indonesia disambut oleh jutaan umat Islam yang datang langsung ke Bandara Soekarno Hatta. Penyambutan terbesar dalam sejarah sebagai bangsa yang berdaulat. Hal ini tak bisa dipungkiri. Berlanjut pada dua acara penting yang pertama, pernikahan putri HRS dan kedua, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Kedua acara inilah yang kemudian dimasalahkan secara hukum.
Tuduhan kerumunan dinilai sumir dan diskriminatif. Bertambah tuduhan demi tuduhan mulai dari penghasutan, RS Ummi, tanah Mega Mendung, blokir rekening, hingga ISIS. Pengintaian dan pembuntutan HRS berujung pada pembunuhan enam anggota laskar FPI oleh aparat. Pelanggaran HAM yang mungkin berdampak global.
Dampak global bukan saja hubungan pelanggaran HAM pembunuhan tetapi juga langsung atau tidak berkaitan dengan perlakuan rezim terhadap HRS. Maka jadi pertanyaan benarkah pemerintah Arab Saudi melarang jamaah Indonesia untuk berumroh atau berhaji hanya karena Indonesia menangani pandemi covid-19 tidak bagus?
Faktor Lain
Penanganan covid-19 bisa menjadi faktor utama. Tetapi faktor lain yang mungkin layak menjadi dugaan adalah
Pertama, perlakuan pemerintah Indonesia terhadap HRS yang di luar batas dan tidak dapat diterima oleh logika dan moral universal.
Kesan dicari-cari kesalahan dan kezaliman disertai pemborgolan yang mudah dibaca dunia, termasuk Arab Saudi.
Kedua, pembuntutan yang berakibat pembunuhan atau pembantaian enam anggota laskar pengawal HRS sebagai pelanggaran HAM berat yang mesti ada sanksi internasional. Arab Saudi bukan saja dipastikan mengikuti perjalanan kasus ini, tetapi juga peduli terhadap tokoh yang baru pergi atau kembali dari negerinya.
Ketiga, HRS adalah tokoh yang mengkritisi konsep Islam Nusantara yang fobia atau alergi terhadap hal berbau Arab. Di samping menyinggung Nabi Muhammad yang memang orang Arab, juga tentu menyinggung Kerajaan Arab Saudi. Dengan mendewakan paham Islam Nusantara berarti menafikan peran Arab dalam pengembangan agama Islam di Indonesia baik historis maupun kini.
Keempat, para penyerang sesuatu yang berbau Arab dari kalangan penjilat Istana, kaum buzzer, mendapat perlindungan habis pemerintah. Menghidupkan olok-olok kadrun, sebutan yang dipopulerkan PKI mengarah kepada Nabi Muhammad dan umat Islam serta meningkatnya peran ’Kakak Pembina’ orang lingkaran Istana yang menjadi pengarah dan pelindung buzzer dan konspirasi anti Arab.
Mencari Kesalahan
HRS memang masuk agenda dihabisi. Demikian juga dengan pimpinan FPI lainnya. KH Shobri Lubis, Habib Hanif Alatas, Habib Idrus Habsyi, Ust Haris, Habib Ali Alwi Alatas, dan Maman Suryadi yang diperiksa dan ditahan dalam kasus kerumunan peringatan Maulid Nabi di Petamburan.
Pendukung HRS Ustad Maaher At Thuwailibi juga ditahan dan meninggal dalam tahanan. Munarman, advokat dan Sekum FPI terus dicari kesalahannya untuk penangkapan.
Percobaan pembunuhan Syekh Ali Jaber pendakwah WNI asal Arab Saudi hingga kini tidak terungkap juga. Syekh Ali Jaber pun akhirnya meninggal dunia karena sakit di RS Yarsi Jakarta. Ulama ini menemui HRS pada saat kepulangan HRS di tanah air.
Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tak terkait dengan HRS dibuli habis oleh para buzzer. Kearabannya pun disinggung dengan kebencian, dicaci maki sebagai kadrun.
Terlalu banyak catatan kebijakan yang tidak konstruktif atau kontra produktif termasuk sikap dan konsiprasi anti Arab tetapi pro Cina yang secara tak langsung menerapkan kebijakan rasialis. Rasialisme yang semakin menguat.
Dalam konteks keumatan kini muncul kekhawatiran terhadap kebijakan pemerintah Saudi terhadap peribadahan umat Islam Indonesia sebagai dampak dari sikap anti Arab dan tindakan represif kepada umat Islam yakni larangan dan pembatasan ketat untuk beribadah haji dan umrah. Meski dengan alasan pandemi covid 19. (*)
Bandung, 9 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto