PWMU.CO – Kisah Pak AR Berdakwah Naik Truk bersama Ayam ini diungkapkan oleh Sukriyanto AR—anak Pak AR—dalam buku Biografi Pak AR yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017. Begini ceritanya:
Pada sekitar tahun 1960 akhir, Pak AR Fchruddin ditugasi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendatangi sebuah pengajian Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) di sebuah kecamatan di Jawa Tengah.
Waktu itu PP Muhammadiyah belum memiliki kendaraan mobil. Dan waktu itu juga belum angkutan: angkutan desa atau ojek sampai ke lokasi. Kendaraan umum, bus hanya sampai di ibu kota kabupaten.
Untuk bisa sampai ke PCM itu sangat sulit. Oleh karena itu orang-orang di terminal menganjurkan supaya Pak AR numpang truk yang lewat. Biasanya truk itu melalui kecamatan di mana PCM itu berada.
Pak AR pun mengikuti saran orang-orang di terminal itu dan minta tolong dicegatkan truk yang lewat. Kebetulan tidak lama kemudian ada truk lewat dan dicegat, dimintai bantuan numpang sampai di kecamatan itu.
Sopir dan kernet truk tidak keberatan, hanya saja tempatnya di belakang. Pak AR pun setuju. Tetapi, ternyata truk itu mengangkut ayam, sehingga di sepanjang jalan ‘menikmati’ bau slentang-slenting bau kotoran ayam.
Itulah suka duka seorang mubaligh—seorang Pak AR yang pernah menjadi Ketua (Umum) PP Muhammadiyah terlama: 1968-1990.
Ditulis setelah Wafat
Tapi begitulah Pak AR. Bukan hanya sederhana, hidupnya sangat sederhana. Dan berdakwah kisah di atas bukan saja cermin sangat sederhanya kehudpan Pak AR, tetapi menggambarkan keihklasannya berjuang yang luar basa.
Saya kaget membaca cerita itu tadi pagi. Dan menyesal banget mengapa baru membacanya hari ini. Sebab selama ini cerita paling mengharukan bagi saya soal perjalanan dakwah Pak AR itu adalah ketika beliau rela bersusah-susah naik bus ke luar kota.
Bahkan kisah Pak AR Telantar di Jalan Waktu Pengajian Termasuk saya anggap kisah yang paling dramatik. Tetapi ternyata kisah numpang truk ayam itu, menurut saya, lebih dramatik lagi. Kita bisa bayangkan kan!
Tapi hebatnya lagi, segala kisah tentang keteladanan Pak AR itu baru bisa kita baca setelah dia wafat. Sebab, saat masih hidup Pak AR menolak penulisan biografinya.
Seperti yang dikisahkan Sukriyanto AR. Ketika memasuki usia 70 tahun, beberapa aktivis mendatangi Pak AR untuk memperingati ulang tahunnya dengan menerbitkan dan mendiskusikan buku 70 Tahun Pak AR.
Tapi apa kata Pak AR?
“Terima kasih atas niat baik dan kemauan anaknda sekalian. Akan tetapi saya minta maaf, minta betul, tidak usah diteruskan. Tidak usah diadakan ulang tahun 70-an.
Karena pasti nanti akan memuji-muji saya. Padahal saya ini banyak kekuarangannya. Lagi pula nanti saya bis aberbangga diri. Riya’, sombong. Jujur saa, saya ini mash lemah. Kalau saya dipuji bisa riya’. Oleh karena itu, sekali lagi, terima kasih tetapi minta maaf tidak usah diteruskan.”
“Jadi kami tidak boleh menulis riwayat hidup Bapak untuk kita jadikan conoh teladan,” tanya anak-anak muda itu.
“Boleh, tetapi nanti setelah saya mat. Kalau sekarang, saya akut saya jadi sombong, tIdak ikhlas,” jawab Pak AR.
Luar biasa! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni