Spiritualitas Pasien, saat Hamba Diuji Allah Sakit; ditulis oleh Ustadz H Abdul Aziz SE, LC (Lulusan Covid, insyaallah); penulis buku best seller “Berhaji kepada Allah”
PWMU.CO – Bayangkan jika Anda mendapat vonis dokter terserang kanker stadium tiga atau empat? Bayangkan pula—atau barangkalai Anda sudah mengalaminya seperti saya—ketika positif terpapar Covid-19 dengan gejala sedang atau berat? Atau bayangkan Anda terserang penyakit berat lainnya!
Tentu, terbayang kematian di depan mata—berdasarkan pengalaman yang dialami keluarga atau sahabat yang telah berpulang lebih dulu ke rahmatullah.
Lima Reaksi ketika Divonis Sakit
Nah, kebayakan reaksi seseorang ketika mendapat musibah sakit yang mengancam keselamatan jiwanya adalah:
Menolak adalah reaksi pertama dari penderita setelah mengetahui hasil pemeriksaan. Dia tidak bisa menerima kenyataan. Bila terpapar virus Corona SAR CoV-II , ia berusaha mengingat-ingat pernah kontak dengan siapa saja: OTG yang membawa virus.
Kalau pada penderita kanker, ia menyalahkan dokter yang telah memvonis dirinya terkena kanker stadium dua, “Ah mugkin salah analisis.”
Marah-marah adalah reaksi kedua. Dia tidak terima kenyataan. Pada kasus Covid-19, ia jatuhkan kemarahan pada orang lain dan tidak jelas siapa yang dituju. Padahal orang yang marah cenderung asam lambungnya meningkat, sehingga mengurangi imun tubuhnya.
Pada penderita kanker, maka dia akan mencari alternatif second opinion ke dokter lain. Ia tambah marah ketika kankernya divonis stadium empat oleh dokter yang baru memeriksanya itu.
Stres-depresi adalah reaksi ketiga. Memikirkan keadaan sakitnya. Ia cenderung diam dan menyendiri dalam kamar sambil memikirkan sakitnya. Sulit bahkan enggak diajak bicara dan membuatnya semakin sensitif
Bargaining adalah reaksi keempat. Setelah diam dalam waktu yang cukup lama, sekarang ia mau bergaining. Sudah bisa diajak kompromi oleh keluarga. Dengan mempertimbangkan baik dan buruk, akhirnya ia bersedia untuk berobat ke rumah sakit atau tempat rujukan lainnya, misalnya dokter spesialis.
Menjadi pasien, adalah reaksi kelima. Pasien berasal dari bahasa Inggris patient, yang bermakna sabar. Hanya orang yang sabarlah (pasien) yang bisa dirawat. Bersedia disuntik, bersedia dibedah dengan pisau operasi, bersedia diinfus dan mengikuti apa yang diperlukan oleh medis.
Menolak, kemarahan, dan stres-depresi sudah hilang. Insyaallah dengan jiwa yang sabar, akan mempercepat penyembuhannya.
Sakit sebagai Musibah
Virus, bakteri, dan jamur adalah di antara jenis makhluk Allah yang bisa menyebabkan orang menderita sakit. Allah memberi sakit dan Allah juga yang menyembuhkan. Dan bila makhluk-Nya yang tersebut di atas mengenai diri kita yang menyebabkan kita sakit, itupun seizin Allah SWT sehingga kita menderita karenanya.
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At Taghabun/64: 11)
Dengan memahami ayat di atas, bagi orang beriman kepada Allah dan menerima dengan ikhlas musibah (dalam hal ini sakit) sebagai takdir dari Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya termasuk petunjuk untuk kesembuhannya.
Di samping itu ia menyadari bahwa ada hikmah di balik kejadian yang menimpanya. Sebab tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Bila ia dapat mengambil hikmah, akan membuat dirinya semakin dekat dengan Allah SWT.
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Al Imran/3: 191)
Lima Tahap Spiritualitas Pasien
Pertama, lapor kepada Allah. Jujurlah kepada diri sendiri, ketika kita sakit kepala siapa atau apa yang kai pertama kita ingat? Allah atau Bodrex? Ketika kita sakit maag yang pertama kali kita ingat, Allah atau Promag?
Mari kita elajar pada Nabi Ayub ketika dia terpapar sakit kulit. Ternyata dia lapor kepada Allah.
وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّي مَسَّنِيَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (al-Anbiya /21: 83)
Insyaallah bila kita lapor Allah, “Ya Allah aku sakit”, Allah akan mengilhamkan kepada kita ke dokter atau rumah sakit mana yang akan kita rujuk, utuk konsultasi.
Insyaallah pula, Allah akan mengilhamkan petunjuk kepada dokter dalam ketepatan diagnosis dan memberi obat yang tepat agar kita sebagai pasiennya cepat sembuh, karena kita sudah lapor pada sang pemilik kesembuhan: Allah!
Kedua, yakin Allah yang menyembuhkan. Bukanlah makanan itu yang menghilangkan rasa lapar, tapi Allah-lah yang menghilangkan rasa lapar. Bagaimana mungkin sejumlah pemuda yang mempertahankan keimanan tertidur pulas dalam gua selama 309 dan tidak bangun-bangun.
Bila orang tidur, maksimal delapan jam dengan sendirinya akan terbangun karena butuh asupan makanan. Siapa yang memberi asupan sekian lama itu? Tentu, Allah SWT!
فَلۡيَعۡبُدُواْ رَبَّ هَٰذَا ٱلۡبَيۡتِ ٣ ٱلَّذِيٓ أَطۡعَمَهُم مِّن جُوعٖ وَءَامَنَهُم مِّنۡ خَوۡفِۢ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Kakbah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (Quraysh/106: 3-4).
Demikian juga dengan obat. Obat itu bukan penyembuh, tapi sarana untuk sembuh. Yang menyembuhkan semata-mata hanyalah Allah SWT
وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (ash-Shu’ara/26: 80.
Semangat untuk Sembuh
Ketiga, semangat untuk sembuh. Bagi penderita, ia harus memiliki semangat untuk sembuh sehingga keluar dari musibah sakit yang sedang dideritanya. Sebagai pasien—sebagaimana asal katanya, patien, sabar—maka ia harus sabar dalam perjuangan untuk meraih kesembuhannya dari musibah.
Sebagaimana para nabi dan pengikutnya ketika mendapatkan musibah.
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena musibah yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran 3: 146)
Ada tiga sikap sabar yang harus di lalui oleh mereka yang terkena musibah. Tidak menjadi lemah, tidak lesu, dan tidak menyerah kepada musibah yang menimpanya.
Sebagai pasien harus kuat dan niat dikuatkan untuk sembuh, dengan minum obat sekalipun pahit ya! Diinfus harus kuat. Serta tidak bersikap lemah. Sikap berikutnya tidak lesu dan tidak menyerah kepada musibah sakit yang di deritanya. Inilah sikap sabar.
Banyak Berdzikir
Keempat, perbanyak berdzikir. Dzikir, berarti ingat kepada Allah SWT. Dan seutama-utama dzikir adalah membaca al-Quran sebagai obat penyembuh penyakit yang ada dalam dada.
Maka perbanyaklah membaca al-Quran yang akan membuat hati kita tenang. Ada rahmat Allah yang turun saat kita mebaca al-Quran. Insyaallah berupa kesembuhan.
Setan saja lari ketika mendengarkan al-Quran, apalagi virus yang kecil bila al-Quran itu dibacakan sendiri oleh si pasien, Insyaallah akan lari terbirit-birit dengan izin Allah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لۡمُؤۡمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus/10: 57)
Atau bila tidak sempat baca al-Quran di siang atau di malam hari, maka pasien bisa membiasakan untuk mendengarkan murattal al-Quran dari handphone. Mendengarkan saja mendapat eahmat-Nya.
وَإِذَا قُرِئَ ٱلۡقُرۡءَانُ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan diam perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.(al-A’raf/7: 205)
Atau berdzikir ingat Allah dalam hati baik bersuara pelan maupun tidak bersuara.
Berdoa Sungguh-Sungguh
Kelima, berdoa dengan kesungguhan. Perbanyaklah berdoa kepada Allah dengan penuh harap agar Dia menyembuhkan.
ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةًۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’raf/7: 55)>
Perjalanan untuk terkabulnya doa untuk kesembuhan atau hajat kebutuhan kita sendiri itupun membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan juga harus dengan kesabaran.
Sebagaimana Nabi Zakaria, sejak berumah tangga berdoa agar di karuniai anak sampai berusia lanjut pun tidak pernah bosan dalam berdoa.
Saat istri Nabi Zakaria mandul dan sudah menapouse. Sementara Nabi Zakaria sudah lanjut usia dan beruban. Secara medis istri Nabi Zakaria tidak mungkin punya anak dari rahimnya. Sedangkan Nabi zakaria mau menikah lagi pun sudah tidak mampu karena ‘tulangnya telah lemah’ tapi Nabi Zakaria tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah
إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥ نِدَآءً خَفِيّٗا ٣ قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّي وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَيۡبٗا وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيّٗا
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (Maryam/19: 3-4)
Akhirnya dengan pasrah kepada-Nya, Allah mengabulkan permintaan Nabi Zakaria yang tidak pernah kecewa dan bosan dalam berdoa, sehingga istrinya dapat mengadung. Kisah ini telah membatalkan logika berpikir manusia di mana seorang wanita yang mandul dan menapouse tidak dapat mengandung.
Sikap Hidup Nabi Zakaria
Bagaimana sikap hidup Nabi Zakaria dan istrinya dalam menjalani hidupnya? Inilah berita dari al-Quran:
فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ
“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (al-Anbiya’/21: 90).
Bagi orang yang tidak beriman, musibah yang menimpa dianggap sebagai bencana yang akan menjauhkan mereka dari Allah SWT dengan selalu menyalahkan Allah. Tidak terima akan takdir yang menimpanya.
Bagi orang beriman, di tengah musibah yang menimpa akan membawa keberkahan dalam hidup dan kehidupannya, bertambah baik dan takwa kepada Allah.
قَالَ ابْنُ الْقَيُّمِ – رَحِمَهُ اللهُ -: ” اَلْبَرَكَةُ حَقِيْقَتُهَا الثُّبُوْتُ وَاللُّزُوْمُ وَالْاِسْتِقْرَارُ
Berkata Ibnul Qayyim: berkah itu hakikatnya tetapnya (kabaikan) dan merupakan kelaziman dan terus menerus.
Wallahualam bissawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni