Konflik Politik yang Diagamakan oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Sunni dan Syiah adalah produk konflik politik masa lampau yang diagamakan. Dirawat dan dilembagakan bahkan dibukukan dalam bentuk paling rigid ke dalam urusan akidah, fiqh dan muamalah. Konflik politik pun berubah menjadi perang antar iman.
Sama seperti konflik pasca Pilpres akan masuk pada wilayah paling sensitif : akidah, kalau dibiarkan berlarut-larut. Yang kalah dan yang menang terus berebut benar. Ungkapan rezim zalim, rezim kafir, rezim munafik, kadrun, cebong, terus dituduhkan kepada lawan politik.
Istilah-istilah teknis agama masuk pada wilayah politik praktis. Jadilah konflik politik seakan perang antar iman. Sungguh mengerikan.
Sejarah konflik rebutan khilafah masa sahabat juga hampir mirip. Masing-masing pengikut terus mencari pembenar. Bahwa hanya kelompoknya saja yang benar yang lain salah. Kemudian membawanya pada wilayah teologis dan agama dijadikan bahan bakar untuk membangun ghirah dan militansi. Semua membangun fanatisme atas nama iman untuk berebut kekuasaan. Umat menjadi kurban.
Di setiap etape, di setiap masa, selalu saja ada orang macam Yahya Waloni dan Yusuf Roni, si mualaf dan si murtad. Keduanya sama. Sama-sama menjadi penceramah pada agama yang baru dipeluknya. Sama-sama menjelekkan agama sebelumnya. Si mualaf Yahya Maloni di setiap mimbarnya selalu menjelekkan Kristen. Pun dengan si murtad Yusuf Roni di setiap ceramahnya selalu menjelekkan agama Islam yang pernah dipeluknya.
Dua orang tak patut dipujikan apalagi diikuti. Dua sikap buruk. Dia akan memuji-muji di saat senang dan menguntungkan, kemudian pergi sambil mencaci-maki setelah keinginan tidak lagi didapatkan.
Status dan Pendapatan
Islam dan Kristen tak butuh orang macam itu. Islam dan Kristen tidak akan menjadi besar dengan kedatangannya dan tidak akan menjadi susut dengan perginya. Kecuali kebencian, konflik dan permusuhan yang ditebar untuk mendapatkan aplaus atau riuh dari penonton yang tak sepenuhnya mengerti.
Kenapa begitu? Ini tak lebih hanya soal karakter. Suka menjelekkan dan menggunjing pihak yang tak disukainya. Apa yang tak disukainya pun kadang karena faktor sosial-politik-ekonomi saja. Bukan karena faktor munculnya getaran hati nurani. Ini bukan soal hidayah yang ia dapatkan. Tapi soal status dan pendapatan. Semacam pengakuan bahwa dirinya ada dan dibutuhkan.
Migrasi agamanya seperti migrasi politik bukan karena hidayah. Ia tidak mendapati manisnya hidayah kecuali kebencian dan permusuhan yang terus berkecamuk dalam hatinya.
Tapi ada seorang tokoh yang pindah agama dan tetap baik pada agama sebelumnya, Kristen. Ia mualaf tanpa pretensi membenci atau menjelekkan agama masa lalunya. Bahkan ia akrab dan menjalin hubungan baik dengan tokoh agama Kristen.
Cendekiawan masyhur Dr Arief Budiman almarhum. Ia akrab dengan Gus Dur. Ia juga akrab dengan Romo Mangun, Aristides Katopo, dan lain-lain yang beragama Kristen atau Katolik. Arief Budiman menjalani masa mualafnya dengan hening, pertaubatan, dan perenungan spiritual Arief Budiman mendapatkan manisnya iman. Wallahu ta’ala alm.
Editor Sugeng Purwanto