Dana Covid Mulai Sesak Nafas oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– UU No 2 tahun 2020 memberi keleluasaan penggunaan dana APBN untuk penanganan pandemi covid-19. Saking leluasanya maka pasal 27 membebaskan dari tuntutan hukum. Dampak positifnya adalah pandemi menjadi prioritas. Sedangkan negatifnya bisa terjadi pemborosan, kebocoran, dan pengelolaan yang semaunya.
Indonesia menurut laporan Bank Dunia termasuk 10 negara berpendapatan kecil menengah dengan jumlah utang luar negeri yang besar. Sampai akhir Desember 2020 besaran utang pemerintah Rp 6.074 triliun. Sementara total utang baru pemerintah tahun ini akan mencapai Rp 1.439 triliun akibat pandemi covid-19. Pemerintah mulai berjanji dan teriak untuk waspada.
Utang yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi back fire. Pandemi yang menjadi alasan keleluasaan penggunaan dan peningkatan utang kini sudah terasa menjadi back fire. Alokasi dana penanganan covid-19 mulai tersendat.
Hingga saat ini jumlah pasien covid masih meningkat. Menurut covid19.go.id, data terakhir Ahad (21/2/2021) mencapai angka 1.278.653 orang terinfeksi. Sementara tingkat keterisian RS akumulatif 70 persen melampaui angka batas aman WHO yaitu 60 persen. Asosiasi Rumah Sakit (ARSSI) pun menyatakan, pemerintah mulai tidak mampu membayar klaim biaya pasien yang ditaksir sebesar Rp 1 triliun.
Ketidakmampuan membayar untuk tiga bulan: Oktober, November, dan Desember, cukup menggelisahkan banyak rumah sakit karena memengaruhi cash flow RS tersebut. Rp 1 triliun klaim tersebut tentu bertambah dengan tagihan bulan sebelumnya akibat adanya dispute.
RS Bisa Bangkrut
Sebagaimana dahulu BPJS yang bermasalah dalam pencairan pembayaran kepada RS, kini klaim pembayaran penanganan pasien covid-19 pun mulai bermasalah. Dana covid mulai sesak nafas. Miliaran tanggungan untuk sebuah rumah sakit.
Contoh, RS yang hanya menempatkan 30 bed untuk pasien covid-19, pemerintah telah menunggak untuk tiga bulan sebesar Rp 10 milyar. Dapat dibayangkan untuk RS yang menyediakan bed lebih banyak daripada itu tentu lebih besar lagi tunggakan pemerintah.
Jika janji untuk waspada tak terealisasi dan abai terhadap penyelesaian tunggakan kepada rumah sakit, maka bukan saja berpengaruhi terhadap pelayanan pasien covid-19 tetapi juga akan dapat mengganggu keadaan rumah sakit itu sendiri. Bukan hal yang mustahil beberapa RS swasta dapat ambruk akibat covid- 19 tersebut. Pemerintah harus serius memperhatikan keadaan ini.
Ataukah dalam kaitan penanganan pandemi covid-19 pemerintah sudah harus berada di ruang ICU dan isolasi. Butuh ventilator untuk menstabilkan pernafasannya. Nafas yang semakin sesak dan tersendat.
Tata Kelola Dana Covid
Kiranya penting untuk meningkatkan keberhasilan penanganan pandemi covid-19 khususnya berkaitan dengan pendanaan, antara lain :
Pertama, meningkatkan alokasi anggaran. Rencana anggaran sektor kesehatan yang akan dialokasikan ternyata masih terkecil (Rp 104,7 triliun) dibanding sektor perlindungan sosial (Rp 150,96 triliun), pariwisata, ICT, ketahanan pangan (Rp 141,36 triliun), dan korporasi-UMKM (Rp 156,66 triliun).
Kedua, audit ketat dana covid jangan sampai menjadi objek korupsi. Kasus korupsi dana Bansos menjadi bukti rawannya dana atas nama darurat yang disalahgunakan. Pandemi membahagiakan para perampok.
Ketiga, memprioritaskan pengamanan pembayaran untuk sarana kesehatan. Tidak boleh ada tunggakan klaim pembayaran kepada RS sebab hal ini berbahaya bagi layanan pasien covid dan keberlangsungan rumah sakit. Covid-19 tak boleh membunuh semua.
Utang yang bengkak dan kebocoran yang mengejutkan adalah sinyal lampu kuning menuju merah. Semoga pemerintah bukan pasien yang harus segera masuk ruang IGD dan memerlukan alat bantu pernafasan. Dana covid yang mengalami sesak nafas berat.
Janji pemerintah untuk waspada jangan sampai menjadi tagihan baru rakyat yang mulai tak percaya dan bosan dengan banyak janji. (*)
Bandung, 22 Februari 2022
Editor Sugeng Purwanto