PWMU.CO – Tradisi pesantren dibawa Muhadjir Effendy ke UMM. Hal tersebut dikatakannya saat menjadi narasumber Webinar #17 LP2PPM, Jumat (26/2/21).
Dalam kegiatan Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM) bertajuk Pesantren Muhammadiyah sebagai Pusat Kaderisasi Ulama: antara Realitas, Harapan, dan Tantangan, Menko PMK RI yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Muhadjir Effendy itu menyampaikan beberapa usulan.
Membangun Link
Menurutnya, yang harus dikembangkan Pondok Pesantren (Ponpes) Muhammadiyah adalah membangun link dengan perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM). Tidak boleh minder dengan PTM yang sekarang sudah masuk tiga besar perguruan tinggi (PT) Islam dunia.
“Kita tidak boleh minder dengan perguruan tinggi Muhammadiyah. Sekarang tiga besar untuk perguruan tinggi Islam dunia. Sudah kelas dunia. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Bayangkan, 10 besar itu ada tiga perguruan Muhammadiyah. Total Indonesia ada lima, satunya negeri dan ditambah Universitas Islam Indonesia (UII),” ujarnya.
Hal ini, sambungnya, menjadi satu hal yang harus disyukuri dan tampaknya harus dimanfaatkan betul oleh pondok pesantren Muhammadiyah demi pengembangan.
Selain itu juga meluaskan jaringan pesantren dan menguatkan bahasa. Bahasa ini merupakan alat yang penting yang harus dikuasai oleh para santri. Harus ada keberanian untuk menerapkan bilingual, bahasa Inggris dan Arab dalam kesehariannya.
“Jangan ragu. Kalau gurunya tidak kompeten ya tidak apa-apa. Toh sekarang banyak alat bantu mengajar dalam bentuk video yang sudah banyak tersedia,” saran mantan rektor UMM ini.
Muhadjir menyampaikan agar para santri di Ponpes Muhammadiyah diberi keleluasaan terhadap akses internet. “Sekarang bukan zamannya santri dilarang bawa iPad misalnya. Dibatasi iya, tapi jangan sama sekali tidak dikenalkan dengan teknologi. Kalau perlu mereka juga diarahkan menjadi ahli-ahli IT. Saya tidak merekomendasikan jika ada pondok pesantren Muhammadiyah yang kemudian melarang santrinya untuk bisa mengakses teknologi,” tutur dia.
Harus Ada Kiai
Usulan lainnya dari Muhadjir adalah harus ada sosok kiai di ponpes-ponpes Muhammadiyah. Menurutnya, menjadi kiai itu nggak ada periodenya. “Jangan ada surat keputusan (SK) PP Muhammadiyah tentang pengangkatan dan pemberhentian kiai. Itu nanti tidak berkesinambungan. Karena ruh dari pondok pesantren itu ada pada tangan kiai,” katanya.
Mungkin kalau mudirnya boleh ada SK. Mudir itu direktur eksekutif. Memang pelaksana harian seperti direktur itu tidak mengapa digonta-ganti. Tapi harus ada di pondok pesantren itu orang yang dituakan, menjadi sesepuh.
“Dan dia diberi kehormatan secara abadi di situ sampai meninggal. Kalau perlu makamnya juga disiapkan di situ. Sehingga orang kalau orang berkunjung ke pondok juga sekaligus berkunjung ke makam untuk berziarah,” terangnya.
Dia mengaku termasuk orang yang tidak nyaman dengan Muhammadiyah yang tidak suka ziarah. “Saya orang yang rajin ziarah. Itu kan termasuk sunnah nabi. Nabi itu kan jendela rumahnya menghadap makam Baqi’. Dan kalau pagi ketika beliau membuka pintu langsung uluk salam pada para ahli kubur. Itu penting juga mengingatkan kita pada orang yang meninggal,” ujar Muhadjir.
Jadi banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang makamnya tidak jelas. KH Mas Mansur di Surabaya itu sampai sekarang belum bisa dipastikan makamnya ada di mana. Namun, dia mengingatkan agar makam tetap dibuat sederhana.
“Tetap sederhana dan jangan dimewah-mewah. Namanya saja kuburan. Tapi jangan sampai kita kehilangan jejak tokoh-tokoh kita karena kita mengabaikan tradisi ziarah,” urai mantan Mendikbud RI tersebut.
Tradisi Pesantren Dibawa ke UMM
Jadi, sambungnya, harus ada kiai di masing-masing pondok pesantren itu. Biasanya pendirinya. Jangan diberhentikan, biar saja di situ. Kalau perlu dibikinkan rumah. Jadi bisa untuk dijadikan tempat bertanya.
“Wong di perguruan tinggi saja saya punya tradisi pesantren begitu. Pak Malik sampai meninggal itu statusnya BPH (Badan Pembina Harian) di UMM. Tidak pernah diganti. Apa sih ruginya kalau kita memberi penghargaan kepada mereka-mereka yang sudah berjasa pada pondok pesantren dengan posisi seperti itu,” jelas dia.
Menghormati kiai atau sesepuh pendiri pondok menurut Muhadjir perlu ditradisikan. Mesti harus ada kiainya di ponpes. Jadi jangan disamakan antara mudir dengan kiai. Mudir itu direktur eksekutif, pelaksana harian pondok. Tapi dia bukan kiai. “Nah kiai itu yang mereka merintis di situ. Jangan kemudian kiai diangkat PP dan diberhentikan,” ungkapnya.
Ponpes Non-Struktural
Muhadjir juga menyampaikan, perlunya mengakomodasi ponpes-ponpes yang tidak secara langsung di bawah struktural Muhammadiyah, tapi berafiliasi dengan Muhammadiyah.
“Sehingga para santri pondok pesantren Muhammadiyah itu diberi pilihan. Dan dia bercita-citanya itu membikin pondok. Dan itu saya lihat kenapa jaringan pondok pesantren seperti Lirboyo, atau di NU itu, karena santrinya juga membikin pondok pesantren,” ujarnya.
Nah ini juga harus dibangun di Muhammadiyah itu, anak-anak yang mondok itu diberi cita-cita untuk bikin pondok. Nah, pondoknya silakan, bergabung secara struktural dengan Muhammadiyah atau ponpes sendiri, tetapi nanti berafiliasi dengan Muhammadiyah.
“Saya kira diberilah pilihan. Sekarang tidak perlulah pendekatan strukturalistik harus Muhammadiyah sampai ribut-ribut. Jelaslah di situ, amalannya membawa misi Muhammadiyah dan menghasilkan banyak tokoh Muhammadiyah tapi tidak diakui, karena tidak masuk di dalam organisasi secara formal. Saya itu sudah tidak zamannya,” jelas Muhadjir.
Pria kelahiran Madiun tersebut juga menyampaikan, jika ingin memperluas jaringan, menjadikan Muhammadiyah sebagai state of mind, gerakan pemikiran, maka pondok-pondok pesantren yang berhaluan Muhammadiyah, walaupun tidak berafiliasi dengan Muhammadiyah harus diakomodasi.
“Bahkan keanggotaan Muhammadiyah itu diperluas dengan itu. Merangkul pondok-pondok yang didirikan kader-kader Muhammadiyah walaupun tidak bernama Muhammadiyah,” tuturnya.
Kalau itu dilakukan, jumlah Ponpes Muhammadiyah tidak lagi 300 atau 700, tapi sudah 4.000. “Karena kita lihat sekarang banyak pondok-pondok pesantren yang visinya itu sebenarnya Muhammadiyah, tapi hanya karena secara organisasi tidak terdaftar, makanya tidak diakui atau dianggap sebagai pondok pesantren Muhammadiyah,” kata dia.
Sebelumnya, Muhadjir menyampaikan tantangan yang dihadapi Pondok Pesantren Muhammadiyah. Yakni globalisasi, identitas, dan kelembagaan. Selain itu, agar berdaya saing global, para santri sebagai subyek aktif mempunyai kemampuan digitalisasi, bahasa dan life skill, serta meluaskan jaringan. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.