PWMU.CO– Sumur Zamzam yang menghidupi kota Mekkah pernah ditimbun oleh satu generasi jauh sepeninggal Nabi Ismail. Mereka anak keturunan bangsa Jurhum yang menguasai Mekkah.
Generasi ini dipimpin oleh Amr bin Al-Harts bin Mudzadz Al-Jurhumi. Mereka korup dengan memakan harta kekayaan yang dipersembahkan untuk Kakbah. Mereka juga zalim kepada pendatang.
Kitab Sirah Nabawi Ibnu Hisyam menceritakan, melihat kezaliman itu bangsa Khuza’ah dari kelompok Bani Bakr dan Ghubsyan bersatu memerangi orang-orang Jurhum.
Mereka mengumumkan perang terbuka melawan bangsa Jurhum. Terjadilah pertempuran. Bani Bakr dan Ghubsyan menang. Mereka mengusir bangsa Jurhum dari Makkah.
Pada masa jahiliyah, ada aturan kezaliman dan pelanggaran hukum tidak boleh terjadi di Makkah. Siapa pun yang melakukan pelanggaran harus diusir. Makkah atau Bakkah artinya meremukkan leher para tirani jika melakukan pelanggaran hukum di dalamnya.
Sebelum keluar Mekkah, Amr bin Al-Harts bin Mudzadz mengambil dua kijang emas, harta benda Kakbah, pedang-pedang, dan dua batu tiang. Barang-barang itu dimasukkan sumur Zamzam kemudian menimbunnya.
Setelah itu, dia dan orang-orang Jurhum pergi ke Yaman. Mereka sangat terpukul, karena kehilangan pengelolaan Kakbah dan kota.
Penggalian Zamzam
Ratusan tahun generasi berganti. Saat tiba di zaman Abdul Muththalib, dia sedang tidur di Hajar Aswad. Dia bermimpi didatangi seseorang yang memerintahkannya menggali sumur Zamzam. Besoknya waktu tidur di tempat yang sama bermimpi lagi. Itu terjadi berkali-kali.
Dalam mimpinya Abdul Muththalib bertanya pada orang itu. ”Apa Zamzam itu?” Orang tersebut berkata, ”Air Zamzam tidak pernah habis, airnya melimpah, dan memberi minum kepada jamaah haji. Zamzam terletak di galian burung gagak hitam di rumah semut.”
Abdul Muththalib dijelaskan tugasnya. Ditunjukkan lokasi sumur yang terpendam. Waktu terbangun dia memanggil anaknya, Al-Harts. Ketika itu, dia baru mempunyai satu orang anak. Lantas mengambil cangkul dan mengajak anaknya menuju Kakbah.
Kemudian dia dan anaknya menggali lokasi yang ditunjukkan dalam mimpi. Keduanya melihat rumah semut. Di tempat itu ada burung gagak sedang melubangi tanah di antara dua patung Isaf dan Nailah, tempat orang-orang Quraisy menyembelih hewan kurban.
Penggalian dimulai. Tak lama kemudian orang-orang Quraisy datang mengerubunginya. Mereka protes. ”Demi Allah, kami tidak akan membiarkanmu menggali di tempat dua patung, tempat kami menyembelih kurban.”
Abdul Muththalib nekat. Dia minta anaknya melindunginya. Orang-orang Quraisy tak berani mencegahnya lagi. Dibiarkannya Abdul Muththalib menggali hingga terdengar pekik takbir.
Dia menemukan dua patung kijang dan emas yang ditimbun bangsa Jurhum. Juga menemukan pedang-pedang yang berdarah dan baju besi.
Orang-orang Quraisy langsung berkata, ”Hai Abdul Muththalib, sesungguhnya itu sumur nenek moyang kita, Ismail, dan kami juga mempunyai hak atas itu. Karena itu libatkan kami.”
Abdul Muththalib menjawab, ”Tidak, sesungguhnya persoalan ini dikhususkan untukku dan tidak untuk kalian. Persoalan ini diberikan kepadaku dan tidak kepada kalian.”
Mereka ngotot. ”Berlaku adillah kepada kami. Sungguh kami tidak akan membiarkanmu dan melawanmu dalam masalah ini.”
Diputuskan lewat Undian
Abdul Muththalib berkata,”Mari kita ambil keputusan yang adil antara aku dengan kalian. Kita selesaikan dengan kotak dadu.”
Abdul Muththalib membuat dua dadu kuning untuk Kakbah, dua dadu hitam untuknya, dan dua dadu orang Quraisy. ”Barangsiapa kedua dadunya keluar, ia mendapat bagian. Barangsiapa kedua dadunya tidak keluar, ia tidak mendapat bagian sedikit pun.” Mereka sepakat.
Dadu diberikan kepada penjaga kotak dadu yang bertugas mengadakan undian di samping patung Hubal. Undian dimulai. Kotak dadu diputar. Keluarlah dua dadu berwarna kuning. Berarti dua patung kijang emas milik Kakbah.
Diputar lagi. Dua dadu berwarna hitam keluar. Berarti pedang dan baju besi milik Abdul Muththalib. Dua dadu orang-orang Quraisy tidak keluar. Kemudian Abdul Muththalib memasang pedang-pedang dan dua patung kijang emas di pintu Kakbah. Itulah emas pertama kali yang dikenakan di Kakbah.
Setelah itu, Abdul Muththalib memberi air minum kepada kerabatnya, semua kabilah Quraisy, dan semua jamaah. Akhirnya orang-orang Quraisy membiarkan Abdul Muththalib bertugas memberi minum kepada jamaah haji dan pendatang setiap tahun. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto