PWMU.CO– Artidjo Alkostar (72) yang wafat di Jakarta, Ahad (28/2/2021) meninggalkan kesan mendalam bagi semua koleganya. Setelah pensiun sebagai hakim agung di MA dia dipilih menjadi anggota Dewan Pengawas KPK.
Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, kewafatan Artidjo Alkostar adalah kedukaan bagi banyak dari kita rakyat Indonesia pencinta kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
”Kepergiannya ke rahmat Allah SWT adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia di tengah problematika penegakan hukum yang cukup serius. Ruh penegakan hukum yang sesungguhnya keadilan acapkali hilang terganti ketakadilan,” kata Din Syamsuddin, Senin (1/3/2021).
Menurut Din, almarhum Artidjo Alkostar adalah sosok hakim pemberani, jujur dan adil. Dia bagaikan Dewi Themis dengan mata tertutup menegakkan timbangan yang seimbang. Sebagai hakim Artidjo Alkostar meyakini ajaran al-Quran bahwa di atas para hakim ada Ahkamul Hakimin, Allah SWT Yang Mahaadil.
”Selamat kembali menemui Sang Pencipta Yang Mahaadil di jannatul firdaus,” ujar Din Syamsuddin.
Algojo Koruptor
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD yang sama-sama mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) juga menuliskan kesannya di akun Twitter-nya @mohmahfudmd.
”Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor tanpa peduli pada peta kekuatan dan back up politik. Dulu almarhum adalah dosen di Fakultas Hukum UII Yogya yang jg jadi pengacara. Selama jadi pengacara dikenal lurus,” tulis Mahfud MD.
Kata Mahfud, Artidjo adalah orang yang menginspirasi dia untuk menjadi dosen serta aktivis penegak hukum dan demokrasi. Dia menulis, tahun 1978 Artidjo menjadi dosen saya di FH-UII. Dia juga yang menginspirasi saya menjadi dosen dan aktivis penegak hukum dan demokrasi.
”Pada 1999/1991 saya dan Mas Artidjo sama-sama pernah menjadi visiting scholar (academic researcher) di Columbus University, New York. RIP, Mas Ar,” cerita Mahfud.
Hakim Pemberani
Hamid Basyaib, wartawan senior, menuliskan kesannya selama berteman dengan Artidjo. Pernah dia bertanya, apakah ada pihak yang mengancamnya karena tidak menerima putusan-putusannya sebagai hakim?
”Tidak ada,” katanya. ”Kalau sampai ada, saya akan balik mengancamnya dan saya akan kejar dia hingga tujuh turunan,” jawab Artidjo.
Menurutnya, sikap seperti itu bukan bentuk keberaniannya, tapi ekspresi keyakinan bahwa putusan apapun yang dibuatnya adalah atas dasar kebenaran hukum. Jika untuk itu ia harus menanggung harganya, ia tidak akan pernah segan untuk membayarnya. Dalam bentuk apapun.
Ketika diangkat menjadi hakim agung pada awal 2000, dia tinggal di rumah kontrakan di gang sempit daerah Kwitang. Rumah ini disediakan oleh beberapa mahasiswanya. Tidak ada meja kursi. Tamu harus duduk di lantai beralas tikar.
Soal tinggal rumah kontrakan ini dia bilang, ”Saya dengar ada jatah rumah dan mobil dari kantor,” katanya. ”Tapi saya tidak mau menghadap pejabat yang mengurusnya untuk meminta-minta. Kalau memang jatah itu ada, berikan saja. Tanpa perlu saya minta.”
Akhirnya jatah apartemen itu ia dapatkan, dan ditempatinya hingga ia pensiun 18 tahun kemudian. Dia merasa apartemen fasilitas negara sudah lebih dari cukup. Dia tak ingin punya rumah di Jakarta. Dia punya rumah kecil di Sidoarum, Yogya.
Mobil Bekas
Transportasi dia punya mobil kecil buatan Korea. Sebelumnya dia ke kantor naik Bajaj. Soal mobil ini ia katakan, jatah uang mobil dari kantor hanya cukup untuk membeli mobil mini bekas itu.
Dia mengidap problem jantung dan paru-paru menahun. Tapi menolak dirawat di rumah sakit. Mantan mahasiswanya yang memaksa dia berobat ke dokter tiga pekan sekali. Selasa, 23 Februari, dokter bersikeras memintan dirawat. Sebab kapasitas jantungnya tinggal 31 persen. Ia menolak. Karena merasa masih bisa makan enak dan bekerja.
Hari Ahad, 28 Februari, pukul 9 pagi, supirnya mengetuk pintu apartemen pinjaman KPK. Karena tak ada respon ditinggal. Lima jam kemudian, khawatir kondisinya, sejumlah orang mendobrak pintunya. Didapati Artidjo wafat di tempat tidurnya. Serangan jantung. (*)
Editor Sugeng Purwanto