PWMU.CO – Integritas Moral Pejabat: Bercermin pada Nabi Yusuf, Khutbah Jumat Pilihan oleh Dr Slamet Muliono, Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim.
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Terjadinya kerusakan massif di lingkungan negara dan pemerintahan saat ini tidak lepas dari adanya pergeseran paradigma dalam menentukan kriteria pemegang jabatan. Kalau al-Qur’an memberi panduan sekaligus persyaratan bagi pengelola negara dengan mengedepankan aspek kepribadian-akhlak, baru kemudian aspek kepintaran-skill.
Sementara era modern saat ini justru membaliknya, dengan mengutamakan kepintaran-skill di atas kepribadian-akhlak. Praktik penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, dan banyak kolusi atas jabatan yang akseleratif disebabkan oleh pembalikan paradigma di atas.
Bahkan kerusakan itu semakin massif dan berulang-merata di berbagai tempat dan waktu, dengan menyingkirkan orang-orang yang berintegritas yang memiliki sifat jujur, adil, dan amanah.
Promosi jabatan seringkali terbius berdasarkan strata pendidikan tertinggi,kinerja yang produktif, dan kepintaran dalam berargumentasi dengan menyisihkan mereka yang memiliki integritas moral, seperti jujur,adil, dan amanah.
Bercermin pada Nabi Yusuf
Integritas moral Nabi Yusuf layak ditampilkan ketika memperoleh tawaran untuk memegang amanah yang agung. Sebagaimana dinarasikan al-Quran bahwa mimpi raja telah di-takwil-kan dengan baik oleh Nabi Yusuf, hingga sang raja terpesona dengan pikiran-pikiran utusan Allah itu.
Karena kekaguman itulah, maka Nabi Yusuf diminta untuk menghadap sang penguasa membicarakaan masalah kenegaraan. Bukannya memanfaatkan momentum, dengan langsung menyambut kesempatan emas itu, namun Nabi Yusuf justru menolak dengan halus, seraya memberi persyaratan.
Sebagaimana dipaparkan al-Quran, ketika utusan raja datang untuk menjemputnya, bukannya gembira dan segera menyambutnya, tetapi Nabi Yusuf justru meminta utusan raja itu kembali menghadap raja. Permintaan Nabi Yusuf itu untuk mengklarifikasi mengapa dirinya masuk penjara tanpa dia ketahui kesalahannya. Al-Quran menjelaskan hal itu secara detail sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَ ٱلۡمَلِكُ ٱئۡتُونِي بِهِۦۖ فَلَمَّا جَآءَهُ ٱلرَّسُولُ قَالَ ٱرۡجِعۡ إِلَىٰ رَبِّكَ فَسۡـَٔلۡهُ مَا بَالُ ٱلنِّسۡوَةِ ٱلَّٰتِي قَطَّعۡنَ أَيۡدِيَهُنَّۚ إِنَّ رَبِّي بِكَيۡدِهِنَّ عَلِيمٞ
Dan raja berkata, “Bawalah dia kepadaku.” Ketika utusan itu datang kepadanya, dia (Yusuf) berkata, “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana halnya perempuan-perempuan yang telah melukai tangannya. Sungguh, Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” (Yusuf 50)
Nabi Yusuf hanya ingin mengetahui pihak-pihak yang memenjarakan dirinya tanpa melalui proses hukum yang jelas dan terbuka. Dalam konteks ini, Nabi Yusuf memiliki harga diri dan tak berambisi dengan jabatan sudah di depan mata.
Andai kata Nabi Yusuf memiliki ambisi berkuasa, maka dia akan memanfaatkan momentum itu untuk keluar dari penjara. Alasan pun bisa dicari, karena yang memanggilnya bukan sembarang orang. Nabi Yusuf tidak memanfaatkan situasi itu, dan mengajukan syarat itu.
Nabi Yusuf seolah tak membutuhkan jabatan itu, dan ini menunjukkan pribadinya yang tak berorientasi jabatan. Dengan kata lain, Allah menggambarkan sikap agung utusan-Nya yang tak bergegas dan tak segera mengambil kesempatan emas keluar dari penjara.
Nabi Yusuf meminta kepada raja untuk untuk mengusut tuntas siapa sebenarnya yang memenjarakan dirinya, karena dirinya merasa tak berbuat dosa dan kesalahan. Allah menunjukkan kesempurnaan akhlak Nabi Yusuf, dan itulah yang nantinya akan membuka tabir siapa sebenarnya yang memiliki iktikad jahat sehingga membuat dirinya dijebloskan ke dalam penjara.
Allah membuka tabir yang menyelimuti kasus Nabi Yusuf ini, sebagaimana firman-Nya:
قَالَ مَا خَطۡبُكُنَّ إِذۡ رَٰوَدتُّنَّ يُوسُفَ عَن نَّفۡسِهِۦۚ قُلۡنَ حَٰشَ لِلَّهِ مَا عَلِمۡنَا عَلَيۡهِ مِن سُوٓءٖۚ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡـَٰٔنَ حَصۡحَصَ ٱلۡحَقُّ أَنَا۠ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفۡسِهِۦ وَإِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ
Dia (raja) berkata (kepada perempuan-perempuan itu), ‘Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya?’
Mereka berkata, ‘Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui sesuatu keburukan darinya.’ Istri Al-Aziz berkata, ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.’ (Yusuf 51)
Pengakuan jujur perempuan era Yusuf dan keberaniannya mengakui kesalahannya patut diapresiasi, sehingga terungkap otak pemenjaraan Nabi Yusuf dengan cepat.
Dengan pengakuannya yang jujur, maka proses mengadili bisa berlangsung dengan cepat. Berbeda dengan kasus-kasus era sekarang yang sulit terungkap otak intelektualnya.
Untuk membuka satu kasus saja memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan tak sedikit kasusnya menghilang dan tak mampu mengungkap pelaku utamanya.
Ketika Kepintaran Menyisihkan Moralitas
Nabi Yusuf memiliki argumentasi, mengapa dirinya demikian gigih mengungkap otak pemenjaraan dirinya yang dilakukan tanpa prosedur yang lazim. Bahkan Nabi Yusuf memandang bahwa proses pengadilan terhadap dirinya penuh dengan tipu muslihat, dan sarat dengan hegemoni kekuasaan.
Argumensi yang dibangun oleh Nabi Yusuf adalah bahwa dirinya bukanlah orang yang serakah dan ambisi kekuasaan, sebagaimana penjelasan al-Quran berikut:
ذَٰلِكَ لِيَعۡلَمَ أَنِّي لَمۡ أَخُنۡهُ بِٱلۡغَيۡبِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي كَيۡدَ ٱلۡخَآئِنِينَ
(Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. (Yusuf : 52)
Nabi Yusuf ingin menunjukkan bahwa dirinya dididik Allah sebagai pribadi yang teguh dalam memegang amanah, bukan orang yang khianat dan haus terhadap kenikmatan dunia.
Apa yang dilakukan Nabi Yusuf bisa diambil sebagai contoh bahwa pemegang jabatan publik haruslah orang yang amanah dan terpercaya sebagai kriteria utama. Bukan orang yang mengandalkan kecerdasan dan kepintaran sehingga berpeluang untuk bertindak culas dan aji mumpung.
Hal ini bisa kita lihat dengan perkataan emas Nabi Yusuf sehingga diabadikan al-Quran saat akan ditunjuk sebagai orang berkedudukan tinggi dan terpercaya dengan memilih bidang yang dia ketahui dan kuasai.
Berikut penjelasan Nabi Yusuf sebagaimana penuturan Al-Qur’an:
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” (Yusuf 55)
Pribadi yang berintegritas dan pandai menjaga (amanah) merupakan prasyarat utama. Bukan penguasaan pengetahuan dan skill. Ketika seorang pemegang jabatan tertinggi memiliki integritas, seperti kejujuran, keadilan, dan amanah, maka jabatannya akan dimaksimalkan untuk menciptakan tatanan hidup yang berkeadilan dan berkeadaban.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf bisa menjadi contoh empirik, di mana dia mau menduduki jabatan bukan atas kemauan dirinya tetapi karena pihak penguasa yang sangat membutuhkan tenaga dan pikirannya.
Jabatan yang beliau emban bukan karena ambisi dengan target popularitas atau menumpuk duniawi, tetapi semata karena dipandang pihak lain sebagai orang yang pantas menduduki jabatan.
Apa yang diperbuat oleh Nabi Yusuf kepada negara selama ini benar-benar tulus dan jauh dari niat-niat sesaat untuk memperoleh kekuasaan. Takwil Nabi Yusuf atas mimpi raja benar-benar dianggap telah berkontribusi pada negara.
Bahkan raja memandang pribadi Nabi Yusuf sungguh mengagumkan dan langka menemukan figur seperti beliau. Pribadi yang berkarakter dan jauh dari ambisi untuk berkuasa. Hal ini bisa dilihat ketika pertama kali ada peluang untuk keluar penjara saat dipanggil utusan raja, namun Nabi Yusuf justru menolak.
Bahkan Nabi Yusuf meminta utusan itu kembali kepada raja guna mengusut tuntas pihak yang menjebloskan dirinya ke penjara tanpa proses hukum. Atas dasar inilah sang raja sangat tepat bila memilihnya sebagai orang penting di negeri Mesir.
Oleh al-Quran dikatakan bahwa jabatan yang diemban Nabi Yusuf merupakan buah dan rahmat atas kebaikan yang dilakukan seorang hamba. Berikut ayat-Nya:
وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَتَبَوَّأُ مِنۡهَا حَيۡثُ يَشَآءُۚ نُصِيبُ بِرَحۡمَتِنَا مَن نَّشَآءُۖ وَلَا نُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik. (Yusuf 56)
Atas dasar itulah maka pantas apabila kepemimpinan yang diemban Nabi Yusuf tercatat di dalam sejarah, karena tegak keadilan dan menyebar kemakmuran di tengah masyarakatnya.
Nabi Yusuf merupakan representasi pemimpin yang tampil dan dipilih dengan mengedepankan keluhuran nilai, budi, dan akhlak, serta ditopang pengetahuan dan kemampuan skill. Ketika keluhuran budi dan akhlak dikedepankan, maka pertolongan Allah akan tampil dan ikut serta dalam mewujudkan tegaknya keadilan dan tersebarnya kemakmuran.
Seiring dengan perubahan zaman, ketika membalik kriteria kepemimpinan dengan mendasarkan pada kepintaran dan kecerdasan intelektual, dan menomorduakan keluhuran budi dan akhlak, maka implikasinya pun berbeda.
Pertolongan Allah pun hilang, dan muncullah pemimpin yang pintar menipu dan culas, serta kebijakannya dipenuhi dengan kedzaliman yang mengubur keadilan dan menyebar kemaksiatan di tengah masyarakat luas. Mari bercermin pada Nabi Yusuf.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا مُبَارَكًا طَيِّبًا فِيْهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ رَحِمَكُمُ اللَّهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى أَيْضًا، إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Editor Mohammad Nurfatoni
Naskah khutbah Jumat Integritas Moral Pejabat: Bercermin pada Nabi Yusuf ini pernah dimuat majalah Matan yang terbit di Surabaya dengan judul Mendahulukan Integritas Moral.