PWMU.CO– Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) selalu menjadi perbincangan di bulan Maret. Ternyata Presiden Soeharto mendengar juga kasak-kusuk itu. Surat aslinya pun hingga kini belum diketahui.
Seperti diungkapkan dalam buku otobiografi Soeharto, Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya. Di halaman 170-174. ”Memang setelah saya umumkan tentang adanya Supersemar itu dipersoalkan orang. Apakah surat perintah itu hanya instruksi presiden kepada saya ataukah satu ’pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas?” kata Soeharto.
Tahun 1966 itu Soeharto masuk Kabinet Dwikora menjabat Wakil Perdana Menteri ad interim, Menteri Hankam, Panglima Angkatan Darat, dan Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI).
Menurut dia, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat di mana integritas presiden, ABRI, dan rakyat sedang berada dalam bahaya. Sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan. “Saya tidak menganggap Supersemar sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Juga bukan alat untuk mengadakan kudeta terselubung.”
Soal awal mula munculnya Supersemar, Soeharto bercerita, pada 11 Maret 1966 siang datang ke rumahnya Jl. H Agus Salim Jakarta tiga orang jenderal. Mereka adalah Menteri Veteran Mayjen Basuki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud.
Waktu itu Soeharto sedang flu berat sehingga tak ikut rapat di Istana Negara dengan presiden. Tiga jenderal itu menceritakan apa yang terjadi di Istana pagi tadi.
”Bung Karno meninggalkan sidang dengan tergesa,” kata salah seorang di antara mereka. ”Gara-gara laporan Sabur pada Bung Karno, ada pasukan tidak dikenal mengepung Istana.” Sabur adalah ajudan presiden.
Bung Karno langsung meninggalkan sidang menuju Istana Bogor dengan mengajak Subandrio dan Chaerul Saleh. Mereka naik helikopter. Pimpinan sidang diserahkan ke Waperdam Leimena yang segera menutupnya karena acara tak menentu.
Tiga jenderal ini berniat menyusul ke Bogor lebih dulu minta izin Soeharto dan bertanya apakah ada pesan yang harus disampaikan ke presiden. ”Sampaikan salam dan hormat saya kepada Bung Karno. Laporkan, saya dalam keadaan sakit. Kalau saya diberi kepercayaan, keadaan sekarang ini akan saya atasi,” kata Soeharto.
Dampratan Bung Karno
Saat bertemu Bung Karno, tiga jenderal itu menjelaskan tujuan mereka datang. Mereka malah kena damprat karena Bung Karno merasa dibiarkan kewibawaannya dirongrong oleh demonstran mahasiswa. Akhirnya Bung Karno bertanya,”Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
”Percayakan saja kepada Pak Harto,” jawab jenderal itu.
Bung Karno marah lagi. Sebab dia merasa sudah memberi kepercayaan kepadanya tapi tidak ada tindakan apa-apa.
”Barangkali diperlukan surat perintah,” kata jenderal itu lagi.
”Baik. Siapkan surat perintah itu,” jawab Bung Karno. Tiga jenderal itu dibantu ajudan presiden Brigjen Sabur menyiapkan surat perintah. Kemudian Bung Karno mengoreksi dibantu Waperdam Subandrio, Chaerul Saleh, dan Leimena. Akhirnya Surat Perintah 11 Maret ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Isinya, Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Soekarno memutuskan, memerintahkan kepada Letjen Soeharto untuk atas namanya mengambil segala tindakan yang dianggap perlu agar terjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno demi keutuhan bangsa dan negara Repbublik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Keputusan Pertama
Setelah menerima Supersemar, Soeharto langsung memanggil semua Panglima Angkatan untuk rapat ke Kostrad. Keputusan pertama: Bubarkan PKI.
Soeharto menunjuk Ketua G-5 KOTI (Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5) Jenderal Soetjipto menyiapkan surat keputusannya dibantu Kolonel Sudharmono dan Letnan Moerdiono. Waktu itu sudah pukul 24.00.
Menurut Soeharto, tuntutan pembubaran PKI sudah menjadi aspirasi yang meluas. G30S sudah tertumpas. Tapi PKI yang merupakan sumber gerakan belum ditindak. Bung Karno tak berkehendak membubarkan PKI. Ini mendorong situasi krisis yang meruncing.
Naskah SK pembubaran PKI diparaf oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara. Terus diberikan ke Soeharto yang disetujui dan ditandatangani. Maka lahirlah Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang ditandatangani oleh Soeharto.
Pukul 06.00, RRI mengumumkan pembubaran PKI. Berita segera tersebar luas. Ternyata rakyat menyambut gembira dengan mengadakan parade di jalan.
Setelah itu Soeharto melakukan seruntunan tindakan. Seperti sikap ABRI terhadap keadaan politik, seruan kepada pengusaha membantu ketenangan ekonomi, seruan kepada aparat negara menjaga kelancaran roda pemerintahan.
Juga menyerukan larangan pimpinan parpol dan ormas menerima bekas anggota PKI dan onderbouwnya. Penangkapan terhadap 15 menteri Kabinet Dwikora. Setelah itu mengeluarkan instruksi dimulainya kuliah dan sekolah bagi mahasiswa dan pelajar. Aksi demonstrasi mahasiswa mereda. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto