Pemerintah Bingung, Jadi Asbun oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Memang paradox. Di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor, di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya pemerintah sudah konslet. Terganggu kesehatan pikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Panik soal kebijakan ekonomi domestik. Ke sana salah, ke sini keliru.
Sebelumnya soal miras yang diberlakukan lalu dicabut. Meskipun hanya lampiran. Juga soal pernyataan Polri status tersangka enam syuhada. Setelah itu segera dihentikan. Plan A yang gagal. Sudah confuse dalam segala hal. Pemerintah kehilangan wisdom, berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak- nabrak.
Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok-olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk.
Masalah terus bertumpuk dan tampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali lubang. Menyelesaikan masalah dengan masalah.
Niat Nasionalisme
Membangun nasionalisme dengan sekadar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah naïf. Lebay, kata anak milenial. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu sudah pasti buzzer segera menuduh hate speech, lalu dilaporkan. Katanya tidak bisa gaul global. Tapi karena sumbernya presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme.
Seperti dibayangi hantu. Hantu KM 50 terus mengganggu. Takut luar biasa hingga TKP pun dihancurleburkan. Penanganan dilambat-lambatkan. Opini diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk.
Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah HTI, FPI, KAMI, kini Partai Demokrat diobrak-abrik. Kudeta lewat KLB akhirnya jadi juga. Moeldoko sang Brutus terang-terangan membunuh SBY.
Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Utang luar negeri bertumpuk. Utang tambahan sulit setengah mati. Investasi asing tidak kunjung tiba dan terus dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti.
Pemerintah bingung. Kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung.
Aduh biyung…! (*)
Bandung, 6 Maret 2021
Editor Sugeng Purwanto