Jangan Lupakan Akhlak Lingkungan, kolom oleh Habib Chirzin, International Institute of Islamic Thought (IIIT), Representative, Indonesia; Ketua Badan Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1990-1995.
PWMU.CO – Masalah lingkungan hidup merupakan issue global yang menjadi keprihatinan bersama (common concern), karena menentukan kelestarian hidup manusia dengan planet tempat hidup, beserta semua pendukung sistem kehidupannya.
Pemanasan bumi (global warming) berikut perubahan ilkim (climate change) pada saat ini telah menjadi ancaman yang nyata terhadap kelestarian sistem kehidupan dan semesta. Pada akhir-akhir ini telah dikembangkan suatu pendekatan baru, faith based approach terhadap masalah lingkungan hidup ini, telah dipromosikan untuk melengkapi “science and technology approach“.
Ajaran Akhlak Lingkungan
Majalah tengah bulanan Suara Muhammadiyah, Edisi 05, Tahun Ke-106, 1-15 Maret 2021, telah menurunkan laporan yang sangat menarik. Sangat tepat untuk mengatasi problem kemanusiaan beserta lingkungan semestanya.
Suara Muhammadiyah (SM) telah dengan tajam dan arif mengulas tema Akhlak Lingkungan, Ajaran yang Dilupakan. Sebuah laporan utama apik yang komprehensif.
Pada tahun 2012, IUCN (International Union for Conservation of Nature), yang bekerja sama denga INEB (International Network of Engaged Buddhism), telah menyelenggarakan International Dialogue on Religions and Climate Change di Islander Center, Annuradhapura Sri Lanka. Ada 140 peserta dari berbagai negaras yang menghadiri acara tersebut.
Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan opening remark pada plenary opening session. Saya bersama Prof Dr Ali Agus—sebulan sebelum dilantik sebagai Dekan Fakultas Ilmu Petertanakan UGM, pada tahun 2012—diundang menghadiri Konferensi Agama dan Pelestarian Lingkungan Hidup tersebut. Kami berdua pernah bersama aktif di Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pascakonperensi di Annuradhapura, Sekretaris Jenderal INEB, Dr Sombon Chungpampre mengunjungi saya dan sempat berdialog di LPPM, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Indonesian Coconute Center PPM, Yogyayakarta.
Tidak ketinggalan kunjungan Jonathan Watts dan Aruna, IUCN Tokyo (International Union for Conservation of Nature) ke rumah kami di Ngrajek, dan sempat berkunjung ke Pondok Pabelan dan berkeliling kompleks pondok yang rindang dan hijau, Green Education and Eco Pesantren.
Ketika kami baru pindah ke Jalan Boroudur, kedatangan seorang pakar Agama dan Lingkungan Hidup dari USA, Prof. Dr Anne M. Gade, sempat bermalam di rumah dan berkeliling desa Ngrajek. Kawasan perikanan dg air jernih yang mengalir sepanjang tahun , mengamati suasana lingkungan hidup. Diantar oleh Abdullah Wazin, sahabat karib Arief, anak saya dari IofC (Initiative of Change).
Pejuang Lingkunan Iskandar Waworuntu
Kembali ke SM yang dengan cermat mengangkat dialog bertajuk: Iskandar Waworuntu, Pejuang Lingkungan. Mempertanggungjawabkan Dosa Lingkungan Kepada Allah“.
Dialog yang sagat fundamental dan mendalam tentang masalah lingkungan hidup. Karena Pak Is—demikian kami memanggilnya—adalah pendiri pusat pengembangan dan pekatihan Permaculture, Internasional, di atas Bukit Giriloyo, Mangunan, Imogiri, Yogyakarta, yang diberi nama “Bumi Langit Institute”.
Pak Is pernah bersilaturrahmi ke rumah kami di Jalan Borobudur sebanyak tiga kali. Dan kami berkunjung ke Pak Is dua kali. Dan kami berdua pertama berkunjung ke Bumi Langit bersama Bung Dr Nabiel Makarim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Gotong. Kami diantar oleh Fikri Arief, anak kami, yang pernah membantu Pak Is, selama dua tahun, bersama seorang pegiat permaculture, Anam Masrur.
Sebulan yang lalu, kami bersama sahahat-sahabat dari Yayasasan Kehati (Keaneka Ragaman Hayati), Mbak Erna Witoelar dkk dari Beneksos, Pak Ismid Hadad dari LP3ES, Mas Didik J Rachbini, dan para alumni LP3ES dan P3M, Amb Abdullah Syarwani, Nashihin Hassan dan Isyon Basyuni serta dari Pusat Kajian Islam Universitas Nasional, Dr Fachruddin Mangunjaya dkk; merancang kegiatan “faith based” pelestarian lingkungan hidup dengan gerakan “Eco Pesantren”, terutama untuk menghadapi pemanasan global dan perubahan iklim.
Earth Summit di Rio de Janeiro
Saya bersyukur—pada musim panas, jauh sebelum “Earth Summit” di Rio de Janeiro, ketika masih kuliah di Fakultas Filsafat UGM—mendapat kehormatan diundang menghadiri konperensi di Rio de Janeiro dan Amazone, Brazil, dengan hutan tropis dan sungainya yang sangat lebar, dan kaya dengan keaneka ragaman hayati.
Kami juga mengunjungi program-program pembangunan di Alagamar, Alexandria, Aracaju, Nova Iguacu dan Reciffe. Coordinator acara ini adalah Dr Chico Ferrera, yang pada tahun 2000-an menginisiasi “World Social Forum”
di Porto Allegre.
Dan ketika kami menikah pada 1981, Chico bersama Stella, istrinya, datang ke Kotagede, Yogyakarta. Perjuangan untuk keadilan lingkungan adalah perjuangan yang sangat panjang.
Menjelang “Earth Summit” di Rio de Janeiro, Brazil, 1992, saya mendapat kehormatan diundang ke Vienna oleh Prof Gerald dan Pat Mische, pendiri Global Education Associate (GEA) dan Pangeran Lichtenstein.
Tujuannya untuk konperensi Global Earth Covenance and Our Common Future, dan mengunjungi acara tahunan Vienna Eco-Technology Expo. Global Education Associates menginisiasi penyusunan deklarasi Earth Covenance yang disumbangkan kepada “Pertemuan Puncak Bumi” di Rio de Janeiro, yang kami tangani bersama.
Keadilan ekologis (eco-justice), etika lingkungan (eco-ethics), dan kelestarian lingkungan hidup, memerlukan kesadaran global. Lebih dari itu kita butuh akhlak lingkungan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni