100 Tahun Aisyiyah Menjaga Kelestarian Lingkungan. Demikian pendapat Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat Aisyiyah Hening Parlan mengenai peran Aisyiyah sebagai umat beragama dalam mengatasi kerusakan lingkungan.
Dia menyampaikan hal itu dalam talkshow bertajuk ‘Umat Suci, Bumi Suci (Sacred People, Sacred Earth): Kampanye Lingkungan Iman Hijau’, yang diselenggarakan secara daring oleh Dompet Dhuafa, Kamis (11/3/2021).
Talkshow tersebut merupakan rangkaian acara “Green Faith Campaign 2021”, hasil kolaborasi lintas organisasi dan entitas. Yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dengan para tokoh aktivis penggerak lingkungan, termasuk Hening Parlan yagg mewakili Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Menurutnya, Aisyiyah—yang tahun ini berusia 107 tahun— selama ini telah berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial bagi kaum dhuafa.
“Meski LLHPB baru terbentuk enam tahun lalu pada saat Muktamar Ke-47 Tahun 2015 di Makassar, namun upaya menjaga kelestarian lingkungan sudah diupayakan sejak Aisyiyah terbentuk lebih dari 100 tahun yang lalu,” ujarnya.
“Pasti akan sulit melakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial kalau tidak diikuti dengan menjaga lingkungan yang baik,“ dia menambahkan.
Dia lalu mengutip Surat ar-Rum 41 yang menadi inspirasi Aisyiyah dalam menaga lingkungan hidup: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Dia menegaskan, ayat tersebut adalah sebuah peringatan agar kita instrospeksi dan kembali ke jalan yang benar, karena kerusakan sudah nyata dan kita sudah diperingatkan oleh banyak fakta.
“Oleh karena itu kita mesti meneguhkan hati untuk kembali ke jalan yang benar. Ajaran agama menjadi guardian of values bagi kita, menjadi nilai moral dan etika yang menyemangati kita dalam membangun upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Dan manusia sebagai khalifah, sambungnya, menempati posisi terpenting dalam lingkungan hidup untuk melindungi lingkungan dari kerusakan.
Langkah Aisyiyah Cegah Kerusakan Lingkungan
Hening Parlan kemudian membeberkan langkah-langkah Aisyiyah dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup. Diawali dari tahap membangun awareness atau kesadaran, kemudian inovasi, lalu dilanjutkan dengan aksi.
“Melalui LLHPB, Aisyiyah mengorganisasi beragam inovasi kegiatan, baik itu melalui program Green Aisyiyah maupun program Resiliensi/ Kelentingan Keluarga,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, Green Aisyiyah berupaya mengajak keluarga Aisyiyah untuk berkomitmen melakukan gaya hidup ramah lingkungan yang bisa dilakukan dari rumah bersama keluarga.
Sedangkan program Resiliensi adalah upaya membangun kelentingan keluarga dan komunitas Aisyiyah dalam masa pandemi Covid-19 melalui sosialisasi dan edukasi pencegahan penyebaran Covid-19. Juga penguatan ketahanan pangan bagi keluarga melalui ternak, komposting, dan budidaya tanaman sayuran.
“LLHPB ‘Aisyiyah saat ini sudah terbentuk di 31 wilayah atau propinsi, dan program Kelentingan Keluarga sudah dilaksanakan di 16 wilayah atau propinsi.” paparnya.
Menurut dia, aksi pencegahan kerusakan lingkungan juga dilaksanakan di berbagai wilayah, misalnya di LLHPB Aisyiyah Jawa Tengah dengan gerakan menanam pohon secara serentak, dengan tetap menerapkan pola asuh terhadap pohon.
Hening menuturkan, di Aisyiyah terdapat platform diskusi daring tentang kajian lingkungan yang dilaksanakan setiap dua ekan sekali melalui acara ‘Ngaji Lingkungan’. Temanya tema antara lain: Sampah Bernilai Ekonomi, Green School, dan lain sebagainya.
“Sehingga agama bisa menjadi guardian of values untuk mengingatkan kita terus menerus bahwa kerusakan lingkungan ini permasalahan yang sangat penting. Dengan nilai agama, inovasi, umat beragama bisa turut bergerak dengan aksi,” ujarnya.
Data Kerusakan Alam
Pada awal paparannya, Hening Parlan menjelaskan data-data dampak kerusakan lingkungan. Mulai dari pandemi hingga bencana alam.
“Terkait dengan Pandemi Covid-19, merujuk pada laporan UNEP (Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa), pada 2016, 60 persen penyakit menular yang ada saat ini adalah penyakit zoonosis yang disebabkan kerusakan ekologi, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat,” ungkapnya.
“Selain itu, kerusakan ekologi juga menyebabkan 90 persen pemusnahan keanekaragaman hayati, berkurangnya ketersediaan air bersih, dan menimbulkan 50 persen emisi gas rumah kaca global,” imbuhnya.
Ia juga mengungkapkan, kerusakan lingkungan memicu perubahan iklim, yang berdampak pada peningkatkan ancaman bencana hidrometeorologi di Indonesia.
“Bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, banjir bandang, kekeringan, selalu di atas 90 persen di Indonesia. Artinya menurut data tersebut, bencana terbesar di Indonesia disebabkan oleh perubahan iklim,” terangnya.
Hening juga menyampaikan keresahannya. Ternyata perubahan iklim dapat mengancam pasokan pangan dan kualitas kesehatan.
“Krisis iklim menyebabkan pasokan pangan rusak karena banjir, kekeringan, penyakit, hama. Sedangkan cuaca ekstrem, polusi udara, menurunnya ketersediaan air bersih, menimbulkan penyakit menular yang pada akhirnya juga mengancam kesehatan kita,“ ungkap dia.
Ia menegaskan, hal ini menunjukkan bahwa wajib bagi kita semua untuk membangun dan mengantisipasi perubahan iklim agar masalah pangan, kesehatan, maupun dampak negatif lainnya bisa kita antisipasi. (*)
Penulis Dzikrina Farah Adiba Editor Mohammad Nurfatoni