Pengadilan Pembunuh Laskar FPI oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Setelah pertemuan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI dengan Presiden Jokowi, maka perjuangan mengawal kasus pelanggaran HAM ini terus berlanjut hingga ada perkembangan terbaru.
Desakan agar proses peradilan dibawa ke Pengadilan HAM adalah usulan rasional, objektif, dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat.
Kesediaan Istana menerima TP3 bukanlah hal yang muncul begitu saja. Diawali dengan “penolakan” melalui surat Menko Polhukam tanggal 25 Februari 2021. Dilakukan mubahalah keluarga enam syuhada tanggal 3 Maret 2021 yang tidak dihadiri pihak kepolisian.
Polisi yang ditantang bermubahalah yaitu Kapolda Metro Jaya, Kabid Humas Polda, Briptu Fikri, Bripka Adi, dan Bripka Faisal. Mubahalah soal tuduhan pemilik pistol.
TP3 pada tanggal 6 Maret 2021 melakukan konferensi pers membalas surat Menko Polhukam dengan menyimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi unwilling dan unable dalam menuntaskan kasus.
TP3 berkomitmen akan terus berjuang dan mengawal. Tiba-tiba Istana mengundang TP3 untuk bertemu di Istana pada tanggal 9 Maret 2021 dan pertemuan pun terlaksana.
Di samping meminta agar pemerintah serius menuntaskan kasus pembunuhan laskar FPI, TP3 mendesak supaya kasus ini diproses melalui Pengadilan HAM di bawah ketentuan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bukan peradilan biasa. TP3 menilai tindakan unlawful killing petugas kepolisian telah masuk dalam kualifikasi pelanggaran HAM berat.
Tiga Hal Ditunggu Publik
Komitmen TP3 untuk tetap mengawal tentu akan dibuktikan. Pertemuan dengan presiden hanya tahapan saja. Sekurangnya ada tiga hal yang publik tunggu dari kerja TP3 ini.
Pertama, menyiapkan jawaban atas perbedaan pandangan antara presiden dengan TP3 tentang kualifikasi kejahatan. TP3 mesti merumuskan white papers yang menunjukan bahwa pembunuhan enam syuhada bukan kriminal biasa. Ada perencanaan politik sistematik.
Kedua, mendesak pemberhentian Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran karena proses pemeriksaan kemungkinan akan sampai kepada yang bersangkutan. Anak buah di lingkungan Polda Metro Jaya yang diproses diduga hanya akan menjadi tersangka pertama. Selama masih menjabat Kapolda, Fadil Imran dikhawatirkan akan mengganggu pemeriksaan personal Kepolisian Polda Metro Jaya, anak buahnya.
Ketiga, keterlibatan peradilan internasional tetap dibuka sebagai antisipasi kemungkinan peradilan sesat (Heretical Judiciary) dalam negeri. Intervensi kepentingan politik ke ruang yudisial harus dicegah dan diantisipasi.
Pengawalan langkah pelaporan ke International Criminal Court (ICC) Den Haag dan Committee Against Torture (CAT) di Jenewa atau networking dengan lembaga kepedulian HAM Internasional lainnya tetap dilakukan.
Pertemuan TP3 dengan presiden di Istana bukan rekonsiliasi atau negoisasi atas sebuah kasus melainkan warning agar pemerintah serius, objektif, transparan dalam menegakan hukum atas pembunuhan sadis enam syuhada laskar FPI tersebut.
Negoisasi hanya berlaku dalam keterkaitan dengan pembebasan aktivis dan ulama yang secara unlawful telah dipenjara serta merealisasikan komitmen untuk membangun kehidupan demokrasi yang berkeadaban, berkerakyatan, dan berkeumatan. Bukan demokrasi kepura-puraan dan pengabaian HAM.
Bermain-main dalam kasus kejahatan kemanusiaan bukan saja akan menjadi the story that continues to be long tails (cerita yang terus berbuntut panjang). Tetapi juga pilihan political suicide (bunuh diri politik) bagi rezim sendiri. Tentu ini adalah pilihan yang keliru dan sangat bodoh. (*)
Bandung, 12 Maret 2021
Editor Sugeng Purwanto