Cak Jen, Siang sebelum Wafat Masih Bahas Disertasi, ditulis oleh Prof Achmad Nurmandi MSc, Anggota Majelis Pendidikan Tinggi dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Wakil Rektor Kerja Sama Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
PWMU.CO – Saya kenal nama ini—Ahmad Jainuri atau sering disapa Cak Jen—pada waktu pembentukan AIPPTM (Asosiasi Ilmu Pemerintahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah). Saya dikenalkan oleh Mas Salahudin dan Bu Tri dosen Ilmu Pemerintahan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang).
Saya kira beliau keturunan India, seperti Rashi Kapoor. Sekilas wajahnya dingin. Setelah beberapa tahun bergaul saya baru tahu, beliau aktivis Muhammadiyah bidang pengaderan. Kegiatannya dari Subuh sampai Maghrif, muter-muter ngurusi Muhammadiyah.
Saya terhenyak luar biasa pada orang ini. Sebab jantungnya sudah bersarang tiga ring untuk melancarkan aliran darahnya. Saya dengar dari temannya, Anwar Mansur, kalau alamarhum pernah bilang, “Lha aku iki usia tidak lama lagi. Saya mau beramal shaleh.”
Pada tahun 2016, UMM menugaskan dia untuk melanjutkan S3 di Unversitas Brawijaya. Saya pikir kok kasihan, sudah sakit jantungan harus S3. Saya dapat info dari Mas Salahudin, bahwa kebijakan UMM memang demikian. Dan saya menganggap ini kebijakan kurang tepat juga. Kok sudah “tua” dikon (disuruh) S3.
Ya memang dari perjalanan beliau sering berkeluh kesah soal kelancaran studinya. Saya pun membantu membangun kerangka berpikir ” pemerintahan kolaborasi”. San saya lihat tulisan sampai setebal bantal. Luar biasa orang ini walaupun sudah “sakit” dan rodo gaptek” tiap hari menulis.
Saya ngak tahu apa yang menjadi motivasi dia. Namun saya tangkap dia berusaha menjalankan amanah amal usaha Muhammadiyah itu dengan baik.
Pertemuan di Hotel Kapal UMM
Sejak dua bulan yang lalu beliau selalu ingin ketemu saya, nggak tahu penyebabnya. Ada rencana mau ke Yogyakarta atau dia selalu menanyakan kapan Nurmandi ke UMM.
Akhirnya saya sempatkan datang pada Kamis, 11 Maret 2021, setelah tugas di Umsida ke Hotel Kapal UMM. Saya datang langsung ke ruang meeting lantai 3 bertemu dengan Mas Kamil dan Bu Tri.
Tak lama kemudian hadirlah beliau dengan pakaian khas pake jas warna coklat. Saya tanya, “Gmana Pak Jen sehat?
Beliau menjawab, “Sehat Prof.”
“Gimana disertasinya?”
Beliau menjawab, “Mbuh. Ujianne werno-werno. Aku yo ra dong (Tidak tahu. Ujiannya macam-macam. Saya tidak paham).”
Saya jawab, “Ditekuni saja!”
Dari informasi beliau, pelayanan pembimbing kurang memuaskan, padahal kondisi kesehatannya terus menurun. Kami diskusi sampai Maghrif dan beliau pamit mau ke masjid. Tapi saya minta beliau shalat di kamar 307 saja, kamar saya. Beliau pun shalat.
Setelah shalat, kami pun makan makan di resto lantai 4 dengan senda gurau. Mas Ali, Mas Kamil, Iradat, Bu Tri, Mas Anwar, dan Mas Salahudin pun bergabung. Jadi tambah rame.
Saudara Anwar bercerita sedang mencari jalan jadi pengusaha, walaupun jalannya agak gelap juga. Yang lain bercerita “dosen” FISIP UMM yang ingin jadi guru besar. Kami pun memesan makan malam. Pak Jainuri memesan nasi goreng dan duduk dekat saya.
Saya sapa Pak Jen, “Silakan dahar (makanan)-nya dan minumnya manis lho.” Karena saya tahu beliau mempunyai penyakit diabet.
“Ora opo-opo (tidak apa-apa) Pak Nur,” ucapnya.
Setelah makan dan menyisakan sepertiganya, tahu-tahu beliau pergi tanpa pamit setelah menerima telepon. Saya pikir mungkin istrinya.
Ternyata beliau kok pamit di WhatsApp Group, “Saya pamit dulu ada tamu,” sambil men-share foto-foto kita bersama. Ya sudah kita sepakat menulis lagi besok paginya.
Malam Dapat WA Cak Jen Wafat
Malam pun berlalu. Saya menunggu jadwal pertandingan PSG vs Barca. Saya penggemar Barca, dan saya hidupkan HP. Pukul 02.15. Kok ada WA masuk dari Anwar. “Innalilahi …, Ahmad Jainuri, wafat.”
Saya tanya balik, “Ahmad Jainuri mana? Karena sebelumnya saya ketemu Prof Achmad Jainuri, Ketua BPH (Badan Pembina Harian) Umsida yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
“Ya Pak Jen kita.”
Ya Allah, saya pun menangis keras. Tapi karena dalam agama Islam tidak boleh over mendengar kematian, saya pun berdoa, “Ya Allah orang ini luar biasa. Terimalah di surga-Mu.
Besok harinya saya pun naik motor ke rumah duka dengan Mas Salahudin untuk menyalatkan jenazahnya. Bertemu dengan sahabat-sahabat UMM dan melepaskan jenazah di Masjid AR Fachruddin UMM.
Saya tahu beliau dilahirkan pada tahun 1964, satu tahun lebih muda dari saya. Almarhum memberi pelajaran bagi dosen perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA).
Pertama, walaupun sudah “tua” dan “gaptek” selalu terus belajar. Kedua, sebagai kader Muhammadiyah selalu bergerak walaupun didera penyakit “berbahaya”, seperti Jenderal Soedirman.
Selamat jalan sahabat. Semoga jadi pembelajaran generasi muda Muhammadiyah dan dosen PTMA. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni