Moeldoko, Menyerahlah! oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Prahara Demokrat merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang korup. Corrupt absolutely. Korupsi yang bukan disebabkan kekurangan tetapi berbasis keserakahan. Keserakahan politik Istana. Semua parpol mesti dikuasai dan di bawah kendali.
Istana secara standar membantah keterlibatan apalagi menjadi pengatur agenda. Itu urusan internal partai, katanya. Namun publik menganggap hal itu adalah ngeles politik.
Rasanya tidak mungkin Moeldoko bermain sembunyi-sembunyi karena sebagai seorang prajurit ia biasa menjalankan perintah. Bantahan Istana muncul setelah kontelasi politik agak berbalik. Misi kudeta nyaris gagal.Dia bukan hanya berhadapan dengan AHY dan SBY tetapi juga opini publik yang mengecam pembegalan politik.
Hal ini diperkuat oleh peristiwa sebelumnya di mana Ketum Partai Demokrat AHY pernah membuat surat kepada Presiden Jokowi mempertanyakan gerakan Moeldoko yang terendus. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa.
Hingga kini Moeldoko pun belum mendapat teguran apalagi dipecat. Istana diduga kuat sangat tahu langkah Moeldoko. Hanya apakah ia sebagai inisiator atau bukan itu persoalan lain.
Orang kuat di belakang Moeldoko tentu inner circle Istana. Kelompok oligarkhis yang bermain di ruang intelijen dengan semangat pecah belah dan kuasai. Taipan adalah elemen strategis yang siap all out membiayai. Hanya indikasi kesuksesan terganggu karena rakyat ikut berteriak. Akibatnya dana seret keluar. Terbukti peserta KLB menjerit atas ingkar janji pembayaran.
Alat Permainan Politik
Moeldoko hanya alat permainan yang tampaknya juga senang berjudi politik. Berharap menang juga. Siapa tahu hoki. Bisa ikut nyapres. Tawaran kepada Jenderal Gatot Nurmantyo yang terkuak menunjukkan gerakan kudeta memiliki misi dan perencana. Masif dan terstruktur. Perubahan kepemimpinan 2024 adalah keniscayaan. Taipan tetap ingin berkuasa untuk presiden ke depan. Petruk atau Gareng.
Single Party System adalah canangan untuk membangun model pemerintahan Orde Lama. Demokrasi Terpimpin, penghancuran kekuatan agama, bersahabat dengan Cina, serta pengendalian partai politik.
Dahulu dibentuk Front Nasional berbasis Nasakom dukungan PKI. Kini Koalisi Nasional. Partai yang satu arah yaitu mendukung pemerintahan Jokowi. Di sini makna bahwa Demokrat harus dilumpuhkan bahkan direbut.
Sebagaimana peristiwa G 30 S/PKI, percobaan kudeta melalui KLB abal-abal tampak dibayang-bayang kegagalan. SBY mengambil alih perlawanan perang dan melakukan counter attack. Istana mulai blingsatan. Pasukan Moeldoko kocar-kacir. Petinggi mulai membelot. Prajurit teriak mengaku dibayar tapi takut dipecat. Moeldoko diam tak mampu bermanuver.
Publik tetap keras ikut mendesak presiden untuk mencopot Moeldoko dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Agar ada efek jera jangan ada lagi model gerakan pembegalan politik yang memalukan bangsa dan negara. Jika partai politik bisa dibegal, ormas dibubarkan, tokoh politik dipenjarakan, maka lampu merah untuk demokrasi telah menyala. Demokrasi Terpimpin mulai merayap dan menguat.
Moeldoko tentu semakin berat. Harapan sukses menipis. Gerak gerik terpantau dan mudah untuk dihajar lawan. Daripada babak belur tak karuan sebaiknya Moeldoko give up. Menyerahlah…!(*)
Bandung, 14 Maret 2021
Editor Sugeng Purwanto