
Ahmad Dahlan Ingatkan Perlakuan Kita pada Harta, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh
PWMU.CO – Secara umum, dalam hal penggunaan harta, KH Ahmad Dahlan sungguh sangat berhati-hati. Adapun secara khusus, perhatian Ahmad Dahlan terhadap nasib anak yatim dan orang miskin sungguh sangat besar. Terkait ini, bahkan ada “gugatan” Ahmad Dahlan kepada rata-rata umat Islam: sudahkah hak-hak anak yatim dan orang miskin kita penuhi?
Salah satu murid awal KH Ahmad Dahlan adalah Hadjid. Beliau punya catatan menarik. Bahwa, “Siang malam Ahmad Dahlan memikirkan ayat (al-Fajr 17-23) ini sehingga bila bertemu dengan siapa saja, beliau mengajukan pertanyaan:
‘Apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguh-sungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu, di bawah perintah Allah?
Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu kepada jalan Allah? Apakah kamu tidak akan takut akan siksa Allah di hari kiamat? Apakah tidak kamu pikirkan akibat yang akan menimpa dirimu?’.” (Pelajaran KHA Dahlan, 2013: 62).
Mari buka ayat yang dimaksud, ayat yang menyita perhatian Ahmad Dahlan. Ayat yang ketika direspon menjadi amaliyah sehari-hari lalu menjadi salah satu ciri Muhammadiyah. Ayat itu, sebagai berikut:
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur-baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (al-Fajr : 17-23).
Adapun yang dimaksud dengan “Tidak memuliakan anak yatim” pada ayat di atas adalah sebuah sikap yang tidak terpuji. Benar, sebuah sikap yang tidak mulia, sebab “Tidak memberikan hak-hak anak yatim dan tidak berbuat baik kepadanya”.
Memang, keprihatinan Ahmad Dahlan sangat boleh jadi terbit karena melihat keseharian rata-rata orang Islam. Mereka, sangat berhitung jika akan mengeluarkan harta di jalan Allah termasuk dalam hal memberikan santunan kepada anak yatim dan orang miskin. Padahal, sangat banyak ajaran Allah dan Rasul-Nya yang meminta kita untuk rajin membelanjakan harta di jalan-Nya.
Ayat berikut sekadar sebuah contoh, tentang keharusan kita untuk menyalurkan harta di jalur yang Allah telah tetapkan. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Ali Imran 92).
Umar dan Hartanya
Untuk lebih memahami Ali Imran 92 di atas, ada baiknya kita putar ulang sebuah kisah. Hal ini, karena kisah-kata al-Quran di Surat Yusuf: 111—-memuat ibrah/pelajaran yang sangat penting. Di kaitan ini, kita cermati kisah Umar bin Khaththab Ra dan harta yang dicintainya.
Bahwa, Sahabat Umar mendapat bagian sebidang tanah di Khaibar. Umar pun datang kepada Nabi SAW.
“Yaa Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mempunyai harta benda yang seperti ini. Inilah semulia-mulia harta benda yang ada pada saya dan sangat saya cintai. Maka apakah perintahmu yaa Rasulullah kepadaku tentang tanah ini,” tanya Umar.
“Jika kamu suka, hendaklah kamu tahan pokoknya (tanah itu) dan kamu sedekahkan hasilnya,” jawab Rasulullah SAW.
Kemudian Umar menyedekahkan hasilnya dan tanah itu tidak akan dijual, tidak akan diwaris, dan tidak akan diberikan pokoknya. Artinya, tanah itu diwakafkan pada jalan Allah.
Syariat di atas diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dalam riwayat itu Umar Ra termasuk orang yang mendermakan hartanya dan harta itu berkategori paling besar/banyak serta paling dicintainya. Harta itu diwakafkan di Jalan Allah.
Abu Thalhah dan Harta Terbaik
Dalam hal semangat membelanjakan harta yang paling dicintainya, ada lagi riwayat yang lain dari Bukhari dan Muslim. Bahwa, suatu ketika, seorang Sahabat–Abu Thalhah—datang kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menurunkan ayat kepada engkau ‘Lan tana-lul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun’ (‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan-yang sempurna-, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai’).
Sungguh, harta benda saya yang sangat saya cintai ialah kebun kurma yang ada di Birhak. Sesungguhnya tanah/kebun saya sedekahkan dengan Lillahi-Ta’ala. Saya mengharapkan kebaikannya dan simpanannya di Sisi Allah. Maka, pergunakanlah Yaa Rasulullah, mana yang paling baik menurut Allah,” demikian kata Abu Thalhah.
“Cara demikian itulah harta yang paling baik dan yang paling untung,” jawab Rasulullah SAW.
Selanjutnya, memang, dalam hadits riwayat Bukhari ada beberapa Sahabat Nabi Saw mendermakan harta yang dicintainya kepada orang di sekelilingnya. Bahwa, “Mereka mendahulukan orang lain dan mengalahkan kepentingan dirinya sendiri, walaupun dia sendiri juga sangat membutuhkannya”.
Dalam hal membelanjakan harta di Jalan Allah, semoga kita tak terjebak menjadi si kikir. Sebaliknya, semoga kita mudah–yaitu selalu lapang-dalam membantu atau menyantuni orang lain.
Terutama, membantu serta menyantuni anak yatim dan orang miskin sebagai dua pihak yang disebut secara khusus di QS Al-Fajr 17-23. Ayat yang disebut terakhir itu telah menyita perhatian KH Ahmad Dahlan seperti yang tergambar di paragraf kedua tulisan ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post