PWMU.CO – Mengatasi Gabut ala Guru Smamsatu adalah tema yang disampaikan Efa Kustiana MPd pada Kultum Jumat Pagi yang digelar secara virtual untuk guru dan karyawan SMA Muhammadiyah 1 (Smamsatu) Gresik, Jumat (26/3/2021)
Guru Bahasa Indonesia Smamsatu Gresik itu mengawali kultum dengan meberikan pertanyaan, “Pernahkah kita mendengar kata bosan, jenuh—atau istilah kerennya sekarang adalah gabut?”
“Mungkin saat ini pun kita sedang berada situasi tersebut yaitu bosan,” ujarnya menjawab pertanyaan retorisnya itu.
Dia kemudian menyampaikan fenomena minimnya aktivitas karena pandemi Covid-19. “Sudah sekian lama kita bekerja dari rumah, tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan di luar. Bahkan beberapa sahabat, saudara, atau putra-putri Bapak-Ibu juga merasakan hal yang sama,” ujarnya.
“Ada yang merasa bosan dengan kuliahnya. Atau seperti saya dan kita semua saat ini, yang sudah bosan ngajar-nya karena (pembelajaran) daring ternyata lebih rumit dari pada kita mengajar di kelas langsung secara luring. Karena kalau daring kita harus mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu,” ungkapnya.
Memang wajar, sambungnya, dalam batas tertentu, dengan rutinitas tertentu, dengan pola yang relatif sama selama berbulan-bulan, membuat kita merasa jenuh, bosan, atau gabut. “Dalam hal ini, bosan yang dirasakan intinya keadaan yag membuat seseorang sudah lelah atau letih dengan keadaan tertentu,” urainya.
Tapi apapun itu, ujarnya, harus dikelola sebab kalau tidak dikelola akan semakin membuat orang tertekan bahkan bisa stress. “Kalau bosan dengan taraf kadar yang ringan masih bisa diatasi dengan hal-hal yang ringan juga dengan membuat variasi seperti dengan kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam,” jelasnya.
Menurut Efa biasanya bosan masih bisa diatasi, tapi apabila rasa bosan itu sudah sampai membuat seseorang merasa tidak berdaya, sudah kehilangan motivasi, maka pikiran-pikiran negatif yang muncul.
“Nah itu yang kemudian menjadi tidak mudah atau tidak sederhana. Misalnya kalau dalam istilah pekerjaan bisa disebut dengan istilah burnout. Yaitu keletihan mental, di mana orang merasa sangat capek, tidak lagi bertenaga, jadi lemas dan tidak punya semangat,” terangnya.
“Lalu yang muncul kemudian pikiran-pikiran yang negatif. Kalau pikiran-pikiran negatif itu berkepanjangan kemudian akan menjadi masalah tersendiri, itu yang perlu dibantu untuk diatasi,” tambah dia.
Cara Mengatasi Gabut
Efa Kustiana menjelaskan, sebenarnya bosan atau tidak itu pilihan. “Maksudnya pilihan itu, kita mau di rumah buang-buang waktu kemudian sering mengeluh. Atau kita mengisi waktu dengan banyak aktivitas, dengan berkarya, dengan melakukan apapun yang positif dan kemudian kita manfaatkan waktu di rumah yang panjang itu dengan aneka kegiatan dan semuanya hal-hal yang positif,” terangnya.
Intinya, ujar dia, kita isi dengan banyak karya dan kegiatan yang membuat hidup merasa lebih bermakna atau bergairah. Tidak hanya menunggu atau bengong.
“Ibarat air, kalau ia mengalir maka akan jernih. Berbeda dengan air yang diam, lama-lama akan keruh atau menghitam. Begitu pun kita, kalau banyak aktivitas akan menyehatkan, pikiran menjadi jernih, hati menjadi longgar,” jelas dia.
“Tapi kalau kita hanya diam saja, lama-lama pikiran keruh, hati juga menjadi gelap karena hanya di rumah dan bengong tidak melakukan sesuatu yang bermakna, tidak produktif,” imbuhnya.
Inspirasi Surat Al-Insyirah
Dia lalu mengutip surat al-Insyirah ayat 7-8. “Dalam ayat tersebut, kita diminta oleh Allah, kalau sudah selesai dalam mengerjakan satu hal itu, fansab maka lalu usahakan kerjakan yang lain lagi, jangan cuma diam. Sehingga hidup penuh dengan karya. Hidup menjadi lebih produktif bukan konsumtif,” terangnya.
Namun, lanjut dia, banyak orang dalam tradisi kita ini sering lebih suka menikmati hidup konsumtif, bukan produktif. Hidup konsumtif inilah yang terkadang memicu munculnya rasa bosan. Misal ketika di rumah selama masa pandemi ini cuma menghabiskan waktu dengan nonton film lewat HP atau lewat TV.
“Sekali dua kali nonton film itu mengkin menarik. Tapi kalau dalam kurun waktu sekian bulan, nonton film pun pasti akan bosan juga, karena (mencari) film apalagi yang mau ditonton,” kta dia.
Jadi intinya, dia berpesan, lakukan sesuatu yang bermakna dan kalau yang satu sudah selesai kerjakan yang lain. Baru selanjutnya waila rabbika fargab. Kita hanya berharap itu kepada Allah.
“Kadang-kadang kita ini berharapnya lebih kepada manusia tidak kepada Allah. Misalnya berharap supaya lebih diperhatikan ketika melakukan sesuatu sehingga ketika perhatian itu tidak keluar kita akan kecewa. iInsyaallah kalau harapannya kepada Allah, Allah pasti tidak akan mengecewakan hambanya yang bersungguh-sungguh,” papar dia.
Maka Efa berpesan, “Oleh karenanya, di tengah pandemi ini—di mana kita semua pastinya memiliki aktivitas yang tidak sepadat ketika masa-masa normal—mari bersama-sama kita manfaatkan situasi yang seperti ini untuk belajar dan terus produktif, berkarya memperoduksi sesuatu. Jangan cuma jadi penonton, jangan pasif.”
Dia pun memberi saran mengatasi kegabutan dengan menulis atau membuat inovasi terbaru dalam pembelajaran. “Agar hidup kita lebih bermakna,” tutur dia. (*)
Penulis Yulia Dwi Putri Rahayu Editor Mohammad Nurfatoni