PWMU.CO – Din Syamsuddin Ajak PCIM AS Siapkan Ramadhan yang Transformatif. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2005-2015 Prof M Din Syamsuddin MA PhD menyampaikan itu dalam Kajian Islam Muhammadiyah Amerika (KalamMu).
Yang memandu jalannya kajian adalah Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Prof Muhammad Ali PhD. Para peserta antusias menyimak melalui Zoom Clouds Meeting dan tvMu Youtube Channel.
Pada kegiatan itu, hadir Penasihat PCIM Amerika Serikat Imam Shamsi Ali, anggota PCIM, warga Muhammadiyah Amerika Serikat (AS), dan simpatisan. Kegiatan rutin tiap pekan ini dilaksanakan pada Sabtu (27/3/2021) pukul 07.00 WIB—14 Sya’ban 1442 H—atau Jumat (26/3/2021) 5 PM PST atau 8 PM ET.
Sebelum Din menyampaikan kajiannya, Rofiq—pemandu acara awal—mengenalkan kegiatan rutin PCIM AS. Selain KalamMu, ada agenda rutin ArabicMu—memfasilitasi waga dan simpatisan di Amerika untuk belajar Bahasa Arab—dan EnglishMu. Dengan sengaja, semua kegiatan PCIM AS berakhiran dengan “Mu”—menyiratkan identitas Muhammadiyah.
Untuk mengawali kegiatan, Syakil Abid Ali—putra Imam Shamsi Ali—melatunkan ayat suci al-Quran, al-Baqarah 182-184, beserta artinya.
Makna Transformasi
Din Syamsuddin menjelaskan, konsep transformasi erat kaitannya dengan wawasan Islam berkemajuan, melibatkan proses transendensi atau perubahan besar. Dalam prosesnya tentu ada dinamika. Dalam konteks Ramadhan ini, menurut Din, transformasi menyasar aspek sosial dan diri.
Nantinya, lanjut Din, tidak sekadar melihat adanya comparative advantage (keunggulan komparatif) atau competitive advantage (keunggulan kompetitif), tetapi juga ada dynamic advantage (keunggulan dinamis).
Keunggulan dinamis menunjukkan perintah Islam agar seseorang bisa berusaha lebih baik dari hari kemarin: berkemajuan. Hari yang akan datang harus lebih baik dari hari ini.
“Man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa rabbi (barang siapa lebih baik dari hari kemarin adalah orang sukses,beruntung),” ujarnya mengutip pepatah Arab.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang punya nama lengkap Muhammad Siradjuddin Syamsuddin ini melanjutkan, tapi kalau linear (sama saja dengan hari kemarin), maka menjadi orang gagal, merugi. Apalagi mengalami degradasi (lebih buruk dari hari kemarin), maka menjadi orang-orang yang terhina, bahkan terlaknat.
Meski Din sadar, ada juga sejarah yang mengulangi dirinya sendiri: ada hakikat yang sama. Secara substansial, apa yang terjadi sekarang telah terjadi pada masa lampau, tapi dengan wujud yang berbeda. Artinya, peristiwa sejarah bukan linear, tapi siklikal—berputar.
Tampak saat dia mengintip sejarah kaum Nabi Nuh, Tsamud, ‘Ad, dan Nabi Luth—yang sudah punah—pada al-Quran, Allah mengungkap, “Kami telah jadikan ayat-ayat al-Quran sebagai pelajaran sejarah, adakah yang mau menjadikannya sebagai pelajaran?”
Dia lantas menyajikan hadits lain yang menyiratkan adanya pengulangan sejarah: waktu itu beredar dan berputar. Berangkat dari satu titik, kembali ke titik yang sama. Untuk itu, Din menghimbau agar kita melakukan transformasi: mengubah wujud pengulangan sejarah agar lebih berbobot dan berkualitas.
Perkara Hisab dan Rukyat
Din mengingatkan PP Muhammadiyah Indonesia telah menetapkan awal malam pertama Ramadhan terjadi pada 12 April malam.
Ijtima konjungsi bulan, matahari, dan bumi pada garis ekskleptif lurus sudah terjadi pada 12 April pukul 9.30.03 pagi. Sehingga, saat matahari terbenam di Indonesia pada 12 April, bulan masih bertengger di ufuk sekitar 3 derajat.
“Itulah hilal!” tandasnya. Sebenarnya hal ini sama dengan rukyat bil aqli, yaitu dengan perhitungan ilmu eksak.
Lalu dia bercerita saat bertanya pendapat Dr Yusuf al-Qaradawi tentang hisab dan rukyat, Yusuf menjawab rukyat adalah dzanni (masih mengandung dugaan). Din mengumpamakan dengan “saat tampak dari jauh terlihat biru, tapi saat didekati terlihat hijau”.
Menurutnya, perdebatan hal ini tidak akan selesai dalam umat Islam. Sebab, seeing is believing (yakini sesuatu dengan melihatnya) tidak akan sepakat dengan knowing is believing (meyakini sesuatu dengan mengetahuinya).
Menjadikan Bulan Transformatif
Din Syamsuddin mengajak peserta bukan sekadar menyambut, tapi “menjadikan” Ramadhan sebagai bulan transformatif. Proses “menjadikan” ini melibatkan self transformation (transformasi diri). Islam mendorong proses “menjadi”, state of becoming atau to become (aktif menjadi).
Sebagaimana ayat tentang ibadah itu, kata kerja (illa liya’ budun), bukan kata benda (lil ibadah). Kata kerja ini terletak pada fi’il mudhari (bentuk present tense atau present continuous tense: sedang terjadi).
“Proses ‘menjadi’ inilah esensi dari transformasi diri, yang di dalamnya ada proccess of changing (berubah dan terus berubah),” ungkapnya.
Din mengungkap bukan kebetulan ada makna menarik pada nama bulan-bulan kalender Hijriah. Sebelum bulan Ramadhan ada bulan Sya’ban yang mengandung arti “jalan di gunung dan jalan itu kebaikan”. Hal ini menunjukkan Sya’ban adalah bulan prakondisi untuk kebaikan, karena sudah direntangkan jalan di gunung untuk mendaki.
Itulah mengapa, tambahnya, dalam doa Rasulullah— “Allahumma baarik lanaa fiirajaba wasya’baana waballighnaa ramadhaan“—ada kaitan Ramadhan dengan Rajab dan Sya’ban. Ada peristiwa sejarah Israk mikraj pada bulan sebelum Ramadhan (bulan Rajab).
“Saya yakin proses sejarah bukan sebuah kebetulan! Ada ketentuan Allah dengan makna-makna-Nya,” ujar alumnus Universitas California Los Angeles (UCLA) itu.
Bukan Utopis
“Pada ujung ayat tentang puasa dalam Surat al-Baqarah—Syakil telah lantunkan untuk mengawali kegiatan ini—ibadah puasa di bulan suci Ramadhan Allah nyatakan dalam bentuk kalimat harapan yang sangat mungkin dicapai. Bukan suatu utopis,” tambahnya.
Apalagi, sambungnya, Allah telah menciptakan manusia—dengan kapasitas insaninya—mampu mencapai kondisi transformasi secara beruntun: pada ayat 183 laallakum tattaqun (agar kamu bertakwa). Kemudian pada ujung dua ayat berikutnya, mencapai kondisi laallakum tasykurun (agar kamu bersyukur). Ayat berikutnya lagi laallahum yarsyudun (agar memperoleh kebenaran) dan pada ayat 189 yaitu laallakum tuflihun (agar kamu beruntung).
Selain itu, dalam sebuah hadits “awwaluhu rahmah, wa ausathuhu maghfirah, wa akhiruhu itqun minan naar” ada tiga kesan transformasi di bulan suci Ramadhan: rahmah (rahmat, maghfirah (ampunan), itqun minan naar (terbebas dari api neraka).
Menurut Din, contoh penerapannya dalam Ramadhan, semakin mendekati akhir Ramadhan seharusnya semakin mengintensifkan ibadah. Jumlah rakaat pada shalat Tarawih memang sama, tapi bobotnya harus meningkat. “Apalagi ada janji Lailatul Qadar!” ujarnya.
Gradasi Jiwa: Transformasi Diri
Din syamsuddin menjelaskan, ada tiga gradasi an-nafs (jiwa) yang kita perlu tahu: an-nafs ammarah bi al-su, an-nafs lawwamah, dan an-nafs muthmainnah. Yang pertama, adalah jiwa yang masih ambivalen (ada kecenderungan berbuat kebaikan dan keburukan).
Diri yang dia maksud adalah al-anfus (diri/self) sebagaimana pada qu anfusakum wa ahlikum nara. Diri merupakan percikan dari ruh. Wa nafakhtu fihi min ruhi—pengejawantahannya pada an-nafs (diri), lebih dari personality (kepribadian).
Menurut Din, bagian diri inilah yang semestinya berkembang—yang sesungguhnya suci karena mendapat hidayah. “Kemudian telah sempurna kejadian manusia pada struktur jasmaniah dalam kandungan Ibu, kemudian Allah mengembuskan padanya dari ruh-Nya,” jelasnya.
Dia lalu mengutip, “Wa ja’ala lakumussam’a wal abshara wal afidah (menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani bagi kamu).”
Itulah hidayah pada tiga hal. Pertama, al-gharizah (kekuatan instingtif) berupa naluriah yang mendorong dari dalam. Kedua, al-hawas (kekuatan indrawi) seperti bisa melihat realitas di sekitarnya dan melahirkan ilmu pengetahuan baru. Ketiga, al-aqlu (evaluatif) seperti bisa membedakan yang hak dan batil.
Maka dari itu, Din menegaskan, nafs lebih bersifat azali. Ruh manusia berada di luar fisik dirinya, sedangkan nafs adalah yang tertinggal atau bersentuhan dengan jasad.
Nafs adalah manifestasi pertemuan ruh dan jasad yang perlu berubah. Tapi karena Allah juga menciptakan hawa pada diri manusia di luar hidayah, maka masih ada ambivalensi pada diri atau jiwa manusia tingkat dasar (an-Nafs Ammarah bi al-Su). Misal, kali ini dia shalat, berikutnya maksiat.
Tapi diri tingkat dasar ini bisa berubah menjadi an-nafs lawwamah, yang mulai mampu menyesali perbuatan jahatnya. “Tidak ada yang mengalpakanku kecuali setan,” tuturnya.
Jiwa yang lebih tinggi lagi yaitu an-nafs muthmainnah: jiwa yang tenang, tentram, dan bahagia. Sebagaimana, hal ini tertera pada surat al-Fajr. Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah (wahai jiwa yang tenang)—Allah memanggil secara khusus—irji’i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah fadhuli fi ‘ibadi, wadhuli jannati (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridai-Nya).
Indikator Bertakwa: Jiwa VS Perilaku
Din Syamsuddin menjelaskan, ibadah di bulan Ramadhan bersifat sistemik, yaitu kesatuan yang terdiri dari beberapa subsistem seperti puasa, qiyamul lail, tarawih, dan makan sahur. Sebagai sistem, Ramadhan harus didekati dan diisi secara kaamil (sempurna) dan syaamil (menyeluruh).
Sehingga, bisa membuat seseorang mencapai tingkat ketakwaan—muttaqun. Sebab, orang-orang bertakwa inilah pemilik an-nafs muthmainnah. Artinya, indikator bertakwa dari segi jiwa adalah memiliki an-nafs muthmainnah.
Sedangkan, indikator bertakwa dari segi perilaku bisa merujuk pada al-Baqarah ayat 1-5: “….hudallil muttaqin.”. Atau merujuk pada Ali Imran ayat 133: Wasariu ila maghfiratim mirrobbikum wa jannatin ardhuhas samawatu wal ardhu uiddat lilmuttaqin (dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa).
Baru setelah itu, kaanya, di ayat selanjutnya Allah menjelaskan siapa saja orang yang bertakwa. Yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Untuk itu, agar mencapai tingkat ketakwaan sebagaimana tujuan ibadah Ramadhan, Din mengungkap perlu ada tranformasi diri dan jiwa. Yakni mendaki dari an-nafs ammarah bi al-su sampai ke tingkat an-nafs lawwamah, hingga mencapai an-nafs muthmainnah.
Jika bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga, maka Din menganggap wajar jika sepuluh hari pertama masih pada tingkat an-nafs ammarah bi al-su. “Tapi begitu masuk ke sepuluh hari kedua itu sudah meningkat, apalagi pada sepuluh yang terakhir!” tandasnya.
Waspada Paradoks Ramadhan
Di Indonesia, menurut Din Syamsuddin, biasanya yang terjadi malah sebaliknya. Semakin menuju akhir Ramadhan, bukannya semakin dekat dengan Allah, tapi semakin dekat dengan dunia. Tampak dari mereka yang menyerbu mall. “Kata mubaligh, lupa zakat mal karena mengeluarkan uang di mall,” candanya sambil tertawa.
Paradoks lainnya, jika Rasul gembira menyambut Ramadhan dan sedih menjelang Ramadhan berakhir, maka pada masyarakat kita sebaliknya.
“Sedih menyambut Ramadhan: Ramadhan lagi-Ramadhan lagi, membayangkan sulit bangun sahur, kelaparan-kehausan pada siang hari,” terangnya. Tapi saat Ramadhan mau berakhir malah gembira karena akan terlepas dari kesusahan itu.
Selain itu, ada fenomena gembira di hari Idul Fitri, tapi tidak membekas sama sekali nilai-nilai Ramadhannya. Padahal menurut Din, Allah memfasilitasi kita Ramadhan sebagai anak tangga meraih ketakwaan.
“Kalau Ramadhan tahun lalu ada di anak tangga ke-5, maka Ramadhan tahun ini harus meningkat di anak tangga ke-6 atau ke-7.
Tapi kenyataannya, ada yang semakin menurun “tingkat anak tangganya”, karena tidak mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan. “Pantas, selama bulan Ramadhan ayatnya tidak pernah berubah—kutiba alaikumus-siyam terus—dari Ramadhan ke Ramadhan ayat itu terus,” selorohnya menyoroti kegagalan umat islam mempertahankan nilai-nilai Ramadhan selepasnya.
Ibadah dalam Islam: Lebih dari Transformatif
Peribadatan dalam Islam bersifat dinamis (transformatif), bahkan menurutnya, lebih dari sekadar transformatif yang biasanya bersifat gradual, ikramental, dan agak perlahan-lahan. Seperti halnya sejarah Islam, setelah hijrah bersifat revolusioner.
Maka peribadatan dalam Islam juga bisa bersifat akselerasi: ada lompatan. Hal ini tampak dari adanya hijrah pada banyak umat Islam yang kadang revolusioner dan radikal. Sebab, menurut Din, beragama harus radikal dalam arti positif. Yaitu berpegang teguh pada radiks (akar, dasar). Ia menyayangkan radikal saat ini banyak terdistorsi sehingga bermakna negatif.
Ada transformasi kesadaran individual, dari yang bersifat individual, menjadi bersifat kolektif dan sosial, bahkan universal. Ibadah dalam Islam sangat bersifat universal: “rahmatan lil alamin” (rahmat bagi seluruh alam semesta), bukan hanya “linnasi ajmain”.
Memadukan Taabud dan Tahaluq
Pada forum ini, Din berpesan agar beribadah secara substantif dalam mengisi bulan Ramadhan nanti, sehingga perlu melakukan subtasiasi. Mengingat, ibadah—seperti shalat dan puasa—hanya berupa kegiatan yang dilakukan oleh al-abid (penyembah, hamba) kepada al-ma’bud (yang disembah).
Kalau saat melakukan ibadah terjebak sebagai rutinitas atau sebagai aktivitas saja, maka perlu mengingat esensinya pula, di mana substansiasinya adalah ta’abud. Esensinya yaitu ta’abud: proses transformasi diri dari hamba—di bawah—untuk naik berada sedekat-dekatnya dengan al-ma’bud.
Seringkali, lanjutnya, umat Islam beribadah tanpa ta’abud. Akibatnya, ibadah, seperti shalat dan puasa, hanya sebagai rutinitas dan kewajiban saja. Untuk menggugurkan kewajiban kita berpuasa, hanya memperoleh lapar dan dahaga, tapi tidak mendapatkan apa-apa.
Tapi kalau ada ta’abud—kesadaran substantif—kita menaikkan diri untuk berada sedekat-dekatnya dengan al-makbud: sampai dengan liqa a rabbi. Jadi kalau shalat sehari lima kali, maka seharusnya semakin meningkatkan diri sampai pada tingkat kejiwaan yang tertinggi.
Namun saat berada di atas, sangat dekat dengan Allah, harus “turun” lagi. Sebagaimana Rasulullah SAW pada peristiwa Isra Mikraj. Saat sudah mencapai Sidratul Muntaha—meski merupakan kenikmatan paling tinggi karena berada sangat dekat dengan Allah—Ia turun ke bumi pada malam itu juga.
Gunanya, kata Din Syamsuddin, menjaga hubungan dengan al-makhluk, tidak hanya dengan al makbud. Jadi kita harus mampu ber-takhalluq: menginternalisasikan sifat-sifat Allah dalam diri, sehingga muncul akhlak karimah.
Sadar Dimensi Waktu
Pesan Din Syamsuddin yang terakhir adalah memunculkan kesadaran terhadap dimensi ruang dan waktu, yaitu dengan menghargai dan disiplin terhadap waktu. Sebab Islam adalah agama yang paling kuat dalam mendorong pengikutnya untuk menghargai waktu. Waktu sholat, puasa, maupun haji sudah ada ketentuan waktunya.
Banyak ayat al-Quran yang membahas perihal waktu, misal dalam surat al-Ashr, al-Fajr, al-Lail, adh-Dhuhaa, asy-Syamsyi, dan al-Qamari. Maka dalam hidup yang terbatas ini, perlu sangat sadar untuk menghargai waktu singkat ini. Jangan sampai, tambahnya, saat tiba waktunya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Selain itu, juga perlu sadar untuk berkerja yang terbaik: ahsanu amala (berorientasi pada kualitas). Yaitu fokus pada action sekaligus quality oriented (berorientasi pada kinerja dan kualitas).
Perlu diingat pula, kara Din Syamsuddin, beragama juga harus berorientasi pada kemanusiaan. “From God: for Human Being and Humanity. Agama dari Allah, tapi untuk manusia,” tuturnya.
Lillah wa linnas inilah cara beragama yang canggih, Islam yang berkemajuan, yang diletakkan dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa, dilanjutkan dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sampai berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Wallahu a’lam! (*)
Din Syamsuddin Ajak PCIM AS Siapkan Ramadhan yang Transformatif; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni