PWMU.CO – Halal Entrepreneur, Ini Tujuh Keunikannya. Status halal dalam kehidupan ini bukan hanya melekat pada suatu produk melainkan juga melekat pada proses bisnis yang dijalankan.
Demikian yang terungkap dari acara Kelompok Diskusi Terarah ”Halal Entrepreneur’’ yang dilaksanakan Program Studi Kewirausahaan Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Kamis (1/4/2021).
Dosen Universitas Malaysia Trengganu (UMT) Dr Abdul Hafaz Ngah menjelaskan halal entrepreneur harus menjadi gerakan bagi umat Islam dikarenakan perintah agama yang harus menjalankan syariat. Sehingga seorang entrepreneur Muslim harus menerima patuh hukum dan sesuai dengan syariah Islam.
Menariknya, halal entrepreneur ini juga tidak melekat pada seorang Muslim namun pada entrepeneur non-Muslim. Buktinya, mayoritas produk yang dihasilkan oleh entreprenur non-Muslim memiliki status halal baik pada produk maupun proses usahanya.
‘’Nestle, Mc Donald, atau KFC merupakan contoh perusahaan yang memiliki status halal meskipun pemiliknya adalah non-Muslim,’’ ungkap dosen yang meraih gelar Ph.D dari Universitas Malaysia Pahang pada tahun 2016 ini.
Menurut dia, perbedaan antara halal entrepreneurship (halalpreneurship) dengan entrepreneurship konvensional terletak pada tujuannya. “Terdapat tujuh poin yang membedakan keduanya,” ungkapnya.
Pertama halalpreneurship berdasar pada hukum syariah sedangkan entrepreneurship berdasar pada hukum formal.
Kedua, dari sudut pandang produk yang dihasilkan. Pada halalpreneurship barang atau jasa yang ditawarkan berdasar pada kebutuhan, kenyamanan, berkualitas, tidak membahayakan dan diperbolehkan oleh hukum syariah.
Sedangkan pada entrepreneurship produk yang dihasilkan hanya pada produk yang diinginkan manusia dan keuntungan semata.
Ketiga, halalpreneurship menganut produktivitas, efisiensi, keuntungan, dan proses halal. Pada entreprenuership meskipun pada umumnya sama namun yang membedakan adalah keinginan memperoleh keuntungan yang besar dan tidak menganut pada proses halal.
Dalam Pantauan Allah
Dari sudut pandang peruntukan produk merupakan hal yang keempat. Pada halalpreneurship peruntukan produk digunakan oleh umat muslim dan kemanusiaan. ‘’Entrepreneurship konvensional produk didasarkan pada permintaan pasar,’’ ujar pria yang penelitiaanya fokus pada Halal Suply Chain ini.
Kelima, dalam sudut ilmu Islam dan bisnis. Non-Muslim pun dapat menjadi halalpreneur berdasarkan kemaslahatan umat. Sedangkan pada pada entrepreneurship hanya berdasar pada profit atau keuntungan.
Oreintasi pada masa depan merupakan hal keenam yang membedakan keduanya. Pada halalpreneurship beroreintasi pada keuntungan dan kejayaan di dunia dan akhirat. Ini berbeda dengan entrepreneurship yang hanya berorentasi pada kepentingan di dunia saja.
Ketujuh pada stakeholder. Konsumen, pekerja, pemasok, pemodal, pemilik, komunitas, dan umat merasa dipantau Allah. ‘’Namun pada entrepreneurship tidak ada keyakinan dalam pantauan Allah,’’ jelasnya. (*)
Penulis Aries Kurniawan Editor Mohammad Nurfatoni