Pukulan KO untuk Moeldoko oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Upaya Moeldoko untuk sukses mengkudeta Partai Demokrat AHY telah membentur tembok. Tiga tembok yang membuat Moeldoko sulit menembus yaitu perlawanan politik SBY-AHY, rakyat yang tak suka gaya kudeta, dan Menkumham yang menolak. Moeldoko pun terkapar.
Bukankah Moeldoko itu mendapat proteksi sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan Presiden Jokowi? Bukankah Menkumham itu adalah kader partai penguasa yang mem-back up Presiden Jokowi ? Mengapa tidak mampu merealisasikan skenario sukses kudeta dengan memperoleh legalitas dari Kemenkumham?
Di samping modal politik KLB yang rendah dengan sedikitnya Dewan Pimpinan Cabang (DPC) asli yang ikut dan sah sebagai peserta Kongres, juga kelemahan terberat Moeldoko adalah bukan kader Partai Demokrat sehingga minim akses kepada kader dan institusi partai di daerah. Hal ini tentu berkonsekuensi pada ketidakmampuan Moeldoko dan tim untuk secara cepat melakukan pembelahan partai.
Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab ditolaknya permohonan keabsahan KLB Deli Serdang di samping masalah AD/ART, yaitu:
Pertama, Menkumham Yasonna adalah kader PDIP yang dalam praktiknya Ketum PDIP Megawati beradu pengaruh dengan Jokowi. Penolakan ini bagian dari peningkatan posisi tawar PDIP atas Jokowi. Orang Jokowi saja bisa digagalkan.
Kedua, tidak tertutup kemungkinan AHY atau SBY memiliki deal tertentu dengan Jokowi apakah soal Pilpres atau Pilkada ke depan, atau kebijakan perundang-undangan tertentu yang telah masuk Prolegnas. Moeldoko bisa diabaikan untuk kepentingan Jokowi yang lebih besar. Termasuk kepentingan nasib masa depan Gibran.
Ketiga, baik PDIP maupun Jokowi keduanya cuci tangan terkesan bersih pada tahap penentuan oleh pemerintah. Moeldoko didorong maju ke proses hukum melalui gugatan TUN (Tata Usaha Negara). Secara diam-diam PDIP dan Jokowi membantu Moeldoko untuk sukses hukum tersebut.
Imbas Kudeta Gagal
Ibarat tinju, Moeldoko kena pukulan knock out. KO. Tapi dia merasa belum kalah telak. Hanya grogi. Berusaha bangun dengan terhuyung-huyung. Ingin pulih kembali kemudian bergerak terus untuk meneruskan pertandingan. Dia yakin memenangkan pertarungan di ujung ronde.
Moeldoko tetap masih berperan strategis dalam posisi sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Dia berusaha bisa melayangkan pukulan balasan.
Sebenarnya Jokowi menghadapi pilihan sulit. Di satu sisi harus menggolkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat dalam upaya menyempurnakan koalisi partai. Di sisi lain terlalu lemah basis dukungan Moeldoko di internal Partai Demokrat. Demikian juga dengan publik yang tak suka pada cara kudeta vulgar melalui KLB yang dipaksakakan.
Ketika kudeta gagal, belajar pada kegagalan PKI dahulu, maka bukan mustahil akan berimbas pada guncangan kekuasaan Jokowi seperti jatuhnya Soekarno saat itu. Seluruh elemen rakyat menjadi musuh bersama dari kekuasaan otoriter. Koalisi pun akan ikut berbalik dukungan.
Pembisik Jokowi paham akan hal ini. Karenanya permainan layak diperpanjang melalui gugatan TUN. Moeldoko harus bersiap punya nafas panjang untuk berlari maraton. Lari sprint telah gagal.
Di usia Moeldoko yang sudah 63 tahun masih kuatkah ia untuk berlari maraton? Jika berat, maka dipastikan Moeldoko akan terkapar lagi. Ada sindiran sebaiknya Moeldoko menyerah saja. Berjuanglah untuk menjadi Ketua DPC Deli Serdang di bawah kepemimpinan Ketum AHY. Itu akan lebih mudah. (*)
Bandung, 2 April 2021
Editor Sugeng Purwanto