Kesalahan Fatal Komnas HAM oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Penolakan kepolisian atas usul untuk melibatkan unsur masyarakat sebagai penyidik, memang wajar. Aturan KUHAP memang tak membuka ruang. Yang tidak wajar adalah Komnas HAM yang tidak mengambil dasar hukum terkuat untuk mengoptimalkan fungsi penyelidikan. Komnas HAM mengeluh lemahnya posisi berdasarkan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Usul revisi segala.
Semestinya tak perlu mengeluh atau usul revisi, Komnas HAM sudah diberi kedudukan kuat dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM menjadi penyelidik pro justisia dengan penyidik Jaksa Agung.
Untuk pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian sebagaimana dalam kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI, maka status penyidik kepolisian bisa dilewati. Objektivitas jauh lebih terjamin.
Jadi sebenarnya Komnas HAM membodohi dirinya sendiri dengan mengambil pijakan yang lemah. Kenapa tidak mengambil dasar UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Indikasi terjadi pelanggaran HAM berat mudah untuk dideteksi, baik dari penyiksaan, maupun sistematiknya perbuatan sejak pembuntutan. Inilah kesalahan komisionernya.
Penembakan enam anggota laskar bukan insiden perebutan penumpang di terminal. Target politik yang berdampak kriminal. Sangat sistematik.
TPF
Jika Komnas HAM melangkah dengan pijakan kuat, maka pasal 18 ayat (2) UU No.26 tahun 2000 memberi kesempatan unsur masyarakat dapat terlibat sebagai penyelidik bersama Komnas HAM. Keinginan publik untuk membentuk Tim Pencari Fakta Independen dapat terpenuhi dan terakomodasi melalui aturan ini.
Komnas HAM tidak akan membuat rekomendasi mengambang seperti saat ini, mempertanyakan penumpang mobil B 1739 PWQ dan B 1278 KJD yang bukan instansi Kepolisian. Komnas HAM dapat membongkar tuntas siapa mereka, karena mereka adalah orang yang termasuk sebagai penjahat kemanusiaan. Mau preman mau aparat intelijen, semua tidak bebas hukum.
Demikian juga mengingat operasi pengintaian dan pembuntutan yang tak berdasar hukum ini didasarkan atas adanya Surat Perintah maka jaringan dan keterlibatan pihak petinggi atau atasan dapat mudah diketahui.
Komunikasi antara petugas lapangan dengan komandan operasi dipastikan terbuka. Dengan UU 26 tahun 2000 Komnas HAM jauh akan lebih berani. Tidak seperti saat ini sangat ragu-ragu bahkan takut-takut. (*)
Bandung, 10 April 2021
Editor Sugeng Purwanto