PWMU.CO – Kesuksesan dakwah tergantung tafaqquh fiddin dan tafaqquh finnas. Hal itu diungkapkan oleh Master Pendongeng Nasional Bambang Bimo Suryono.
Dia menyampaikannya saat menjadi pemateri pada Pelatihan Pengajaran Iqro untuk Bekal Pengabdian Santri Persada UAD Ramadhan 1442 H. Kegiatan ini digelar secara virtual oleh Pengurus Pesantren Mahasiswa KH Ahmad Dahlan (Persada) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Jumat (9/4/2021).
Menurut Kak Bimo, sapaan akrabnya, kompetensi terpenting dalam mengajar al-Quran dengan metode iqra ataupun metode lainnya adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan anak didik.
“Seorang tokoh nasional M Nasir dalam bukunya Fiqhud Da’wah menyatakan kesuksesan sebuah dakwah tergantung pada dua hal, yaitu tafaqquh fiddin dan tafaqquh finnas,” ujarnya.
Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah, lanjutnya, antara lain untuk membina pribadi dan membangun umat. Sehingga siapapun yang mengerjakan tugas dakwah perlu memiliki dua hal yakni tafaqquh fiddin dan tafaqquh finnas.
“Tafaqquh fiddin maknanya seorang guru mengaji harus memahami benar mengenai risalah yang hendak diteruskannya, mengetahui isi dan bidangnya, memahamkan saripati dan jiwanya serta merasakan dinamika yang terkandung di dalamnya. Sehingga risalah tersebut dapat benar-benar memberi hidup dan menghidupkan,” kutipnya.
Guru, sambungnya, juga dituntut agar dapat memahami anak didiknya atau tafaqquh finnas. Hukumnya wajib ain. Ia harus memiliki interaksi yang baik dengan santri, pentingnya kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam hal ini.
“Faktor-faktor yang membentuk dan memengaruhi peserta didiknya harus ia pelajari. Seperti sifat, tabiat, tingkat kecerdasan, faktor kejiwaan dan lainnya. Penting bagi guru untuk mengetahui karakteristik anak-anak,” ungkapnya.
Karakteristik Anak-anak
Beberapa karakteristik anak-anak, menurutnya, yaitu pertama anak-anak sudah tentu banyak gerak. Mereka mengandalkan saraf motoriknya, sehingga tidak sedikit dari mereka di tempat TPA melakukan sa’i, thowaf, bahkan lempar jumroh.
“Dunia anak adalah dunia bermain. Mereka mengenal kehidupan melalui permainan. Sehingga manakala kita melarang anak bermain maka secara tidak langsung telah melarang anak mengenal kehidupan. Hanya saja perlu diarahkan agar apa yang mereka lakukan tidak membahayakan dan berakibat buruk,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, anak-anak memiliki sifat egosentis. Mereka tidak mengandalkan pikiran maupun perasaan sehingga tidak mustahil apa yang dimilikinya tidak boleh dipinjam oleh temannya. Mengedepankan dirinya sendiri dan sejenisnya.
Ketiga, ujarnya, anak-anak lebih cenderung berpikir kongkret. Anak pergi mengaji tidak 100 persen benar-benar ingin mengaji. Mereka datang ingin bertemu dengan teman, bermain, ngobrol dan sebagainya.
“Menghadapi hal tersebut guru juga perlu menyiapkan berbagai alternatif cara mengajar seperti tepuk, yel-yel, tebak-tebakan dan melakukan permainan baik secara individu ataupun kolosal,” terangnya.
Meski demikian, ujarnya, perlu disadari bahwa semakin sulit anak diarahkan maka di sana akan semakin bertambah keberkahan dan pahala yang diperoleh seorang guru.
Menyikapi Pertanyaan Aneh
Adakalanya anak-anak menanyakan hal-hal yang sangat menyulitkan bagi guru. Seperti Allah besarnya kayak apa, laki-laki atau perempuan dan sebagainya. Untuk hal ini Kak Bimo memberikan alternatif jawabannya. Perhatikan percakapan guru dan muridnya berikut ini.
“Ustadzah, tadi saya berangkat ke masjid tidak baca bismillah tapi tidak ketabrak motor,” kata anak yang satu.
“Iya Ustadzah, tadi saya nonton Naruto menang lawan Otsusaki padahal nggak baca bismillah,” seloroh anak yang lain.
“Nak, apalagi kalau baca doa pasti akan lebih selamat. Dijaga oleh Allah dan didampingi para malaikat. Nah tidak basmalah aja menang, apalagi kalau Naruto baca bismillah,” jawab guru.
“Ustadzah, mau nanya, Allah besarnya kayak apa?” tanya anak yang lainnya.
“Semut dan lalat besar lalat, lalat dan ayam besar ayam, ayam dengan kambing besar kambing, dengan gajah lebih besar gajah, dengan gunung lebih besar gunung, dengan langit, alam semesta semua itu merupakan makhluk ciptaan Allah. Maka tidak ada yang dapat mengalahkan kebesaran Allah SWT,” jawab si guru.
“Allah itu laki-laki atau perempuan, Ustadzah?” anak-anak bertanya lagi.
“Allah itu tidak seperti manusia, Nak. Kalau mau ketemu Allah nanti, ditunda dulu. Ketemunya di surga. Tetapi yang boleh melihat dan ketemu hanya anak-anak yang saleh. Yang tidak saleh tidak boleh lihat Allah,” jelas sang guru.
Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan anak dapat disikapi dengan berbagai cara. Antara lain menjawab dengan mencarikan perumpamaan, menguraikan atau dengan seloroh. Semoga para santri Persada UAD diberikan kesabaran dalam melakukan tugas dakwah ini. (*)
Penulis Diyan Faturahman. Editor Sugiran.