PWMU.CO – Kalangan pro-Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menilai Aksi Damai 4 November 2016 di Jakarta lebih didasari oleh motif politik dibandingkan ketersinggungan umat Islam atas penistaan Alquran oleh Ahok. Mereka, sebagaimana juga Ahok, juga percaya pengunjuk rasa yang “ngeluruk” ke Jakarta karena ada upahnya. Bahkan, Ahok menyebut sebagian peserta unjuk rasa menerima Rp 500.000.
Tuduhan seperti itu sama sekali tidak akurat. Mungkin, memang ada yang memperoleh uang transport dan makan dalam aksi tersebut. Namun bila melihat kerumunan manusia sebanyak itu, pada hari yang sama, terlalu absurd bila hanya melihat arus amat massif tersebut digerakkan oleh motif transaksional materi.
(Baca: Pesan Din Syamsuddin untuk Bangsa Berkaitan dengan Ahok)
Dengan begitu banyak massa, baik yang berafiliasi dengan organisasi Islam arus utama (mainstream) maupun tidak, tudingan tersebut tak lebih hanya sebuah apologia atas keterkejutan mereka atas jumlah pengunjuk rasa.
Mungkin, memang ada sekelompok yang memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan Pilkada DKI Jakarta. Bukankah pemilu itu memang sebuah pertarungan memerebutkan kekuasaan?
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada satu atau sekumpulan partai politik yang bisa menggerakkan massa dalam jumlah demikian massif, ratusan ribu orang. Tanpa ada “ghirah”, sulit rasanya muslim dan muslimat dimobilisasi sebanyak itu sekalipun ada pengganti biaya transpor, misalnya.
(Baca juga: Ahok Resmi Tersangka, Silaturahmi Ormas Islam Keluarkan 5 Penyataan Bersama)
Mana pernah ada kohesi massa dari elemen NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, dan PKS unjuk rasa bersama? Tentu itu karena ada “ghirah”. Ini yang tidak jujur diakui oleh muslim yang mendukung Ahok secara membabi-buta. Tudingan bahwa kalangan Islam berunjuk rasa karena menolak dipimpin oleh non-muslim, juga ahistoris.
Sejumlah kabupaten/kota dengan penduduk mayoritas muslim dipimpin oleh non-muslim, namun tidak ada gejolak. Betapa tidak proporsionalnya gara-gara Aksi 411 lantas mereka melabeli peserta unjuk rasa sebagai kelompok Islam radikal, fundamentalis, atau garis keras.
(Baca: Ini Sikap PP Muhammadiyah tentang Status Tersangka Ahok)
Contoh nyata adalah Kota Surakarta (Solo). Kota Batik ini dipimpin oleh FX Hadi Rudyatmo yang memenangi pilkada dengan perolehan suara lebih dari 70 persen. Di Kota Solo, Muhammadiyah amat berkembang. Amal usaha, terutama pendidikan dan kesehatan, berkembang pesat. Di kota kelahiran tokoh Muhammadiyah, Amien Rais, ini pun berdiri megah kantor Majelis Tafsir Alquran (MTA) dengan kegiatan yang juga intens.
Pernahkah umat Islam menolak kepemimpinan FX Hadi Rudyatmo? Tidak pernah. Karena, Rudi memang mendapat dukungan mayoritas dalam pilkada. Karena, Rudi pun tidak pernah menyentuh garis “offside” keimanan pemeluk Islam. Artinya, umat Islam begitu dewasa menyikapi aturan main demokrasi. Sejujurnya, itulah potret besar wajah umat Islam di Indonesia.
Catatan: AZ Muttaqin, pekerja media, tinggal di Semarang.