Pil Penunda Haid untuk Wanita Berpuasa dItulis oleh Dr Zainuddin MZ, Lc MA Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
PWMU.CO – Islam adalah agama fitrah dan mudah yang berlaku secara universal, baik untuk kaum laki-laki maupun kaum hawa. Di samping itu Islam juga mudah dan Islam tidak menghendaki kelisutan bagi pemeluknya. Maka pada setiap ada udzur untuk menjalankan suatu ketaatan, pasti ada sulusinya.
Sedemikian pula haid yang dialami para wanita adalah kodrat Ilahi terhadap kaum wanita. Sehingga menjalani kodrat Ilahi dengan lapang dada dan menjalani solusi yang diajarkan dalam syariat bagi wanita tentu lebih mencerminkan sikap berserahdiri kepada kehendak Allah, baik kehendak-Nya secara kodrat alamiyah maupun kehendak-Nya yang tertuang dalam tuntunan syariat Islam.
Dalam manasik haji misalnya, ditemukan berbagai solusi cerdas bagi Asma’ yang nifas setelah memasuki miqat, Aisyah yang haid saat kedatangannya di Mekah dan gagal ikut umrah bersama Rasulullah SAW, serta Shafiyah yang haid saat hendak kembali pulang ke Madinah, padahal ia belum menjalani tawaf wada’.
Jika sedemikian peliknya wanita haid dalam menjalani ketaatan ibadah haji, maka dalam berpuasapun Islam telah memberikan solusi terbaik baginya.
Wajib Berpuasa walaupun dalam Kondisi Haid
Saya terkejut ketika membaca artikel dari pemikir liberal, bahwa wanita haid tetap diwajibkan berpuasa. Argumentasi yang dipaparkan adalah pernyataan Aisyah:
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: (سَأَلْتُ عَائِشَةَ رضي الله عنها فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَلَاةَ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ) (فَقَالَتْ: قَدْ كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم ثُمَّ نَطْهُرُ, فَيَأمُرُنَا بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا يَأمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ)
Mu’adzah berkata: (Aku bertanya Aisyah: Kenapa wanita wajib mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat? Aisyah balik bertanya: Apakah Anda termasuk kelompok Haruriya–sekte Khawarij aliran Harura’? Ia menjawab: Bukan, aku sekadar ingin tahu) (Aisyah menjawab: Saat kami haid di masa Rasulullah SAW lalu suci, maka kami diperintah mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat. HR Bukhari: 315; Muslim: 335; Abu Dawud: 262; Tirmidzi: 130, 787; dan Nasai: 2318.
Pemikir liberal itu menjelaskan bahwa redaksi “qadha’” berkonotasi diwajibkan, diharuskan, ditetapkan, dan dipaksa. Dengan demikian wanita haid tetap diwajibkan berpuasa namun tidak diwajibkan shalat.
Alasan rasionalnya, untuk berpuasa tidak dipersyaratkan adanya kesucian, dengan demikian wanita yang dalam kondisi tidak suci (haid) tetap diharuskan berpuasa. Hal ini berbeda dengan shalat yang dipersyaratkan adanya kesucian, maka ia tidak diwajibkan shalat.
Beginilah akibatkan jika seseorang memahami hadits hanya mengandalkan kebahasan dan rasionalitas. Padahal dalam pengertian syariatnya, wanita haid itu memang masih berkewajiban puasa namun bukan pada masa haidnya, melainkan setelah sucinya, sehingga ungkapan Aisyah itu seharusnya difahami, wanita harus menyahuri hutang puasanya yang ditinggalkan karena masa haidnya dan tidak menyahuri shalatnya.
Hal ini dipertegas dengan hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Dinarasikan Abu Sa’id RA, Rasulullah SAW bersabda: Bukankah jika wanita sedang haid, ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah wujud kurang agamanya. HR Bukhari: 1951.
Dengan demikian jika hadits di atas dipahami secara holistik, maka haid merupakan udzur untuk menjalani puasa dan shalat, dan padanya tetap dibebani mengganti puasanya namun tidak mengganti shalatnya di saat telah tuntas dari masa haidnya.
Haid Adalah Udzur Wanita
Sebagaimana paparan sebelumnya, haid merupakan udzur dalam menjalani beberapa ketaatan. Misalnya tawaf, shalat, berpuasa dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan bagaimana wanita minum pil menunda haid agar dapat menjalani puasa Ramadhan dengan sempurna?
Sesungguhnya tanpa meminum pil menunda haid pun wanita dapat menjalani puasa dengan sempurna. Memang saat haid ia tidak berpuasa, bukankah ada solusi untuk mengqadha’nya. Bahwa waktu qadha’nya cukup leluasa. Yakni setahun penuh kecuali pada hari-hari umat Islam dilarang berpuasa padanya. Kebiasaan Aisyah adalah mengqadha’ puasa Ramadhan di bulan Sya’ban. Walaupun demikian tidak menghalangi dirinya untuk berpuasa Senin dan Kamis dan puasa-puasa sunah lainnya bersama Rasulullah SAW.
Memang sering ada keluhan untuk mengqadha’ puasa dirasa sangat berat. Sehingga mencoba menyiasatinya dengan minum pil menunda haid.
Pada prinsipnya hukumnya adalah mubah. Namun harus dipahami bahwa dalam tinjauan medis, telah terbukti banyak kasus. Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan efek samping seperti nyeri di payudara, rasa mual, sakit kepala. Pil penunda haid juga dapat mengacaukan siklus haidnya, atau menyebabkan munculnya pendarahan kecil yang terus menerus, atau flek-flek darah atau kehitaman.
Dalam Islam tidak boleh ada unsur madharat, bahkan aspek kemaslahatan harus dikedapankan. Kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
Pertma, tidak ada unsur bahaya dan yang membahayakan.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dinarasikan Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah saw. memberi ketentuan agar tidak ada unsur bahaya dan yang membahayakan. Hr. Hakim: 2345; Ibnu Majah: 2340; Ahmad: 2867; dan Malik: 1429.
Kedua, Islam menghendaki kemudahan, bukan kesulitan. Maka hindari hal-hal yang dianggap menyulitkan dalam menjalani ketaatan kepada Allah swt. dan carilah hal-hal yang tidak mengekang dirinya sehingga ia merasakan kenikmatan dalam bertaqarub kepada Tuhannya.
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulita. Qs. Al-Baqarah: 185.
Ketiga, penjagaan terhadap kemaslahatan harus dikedepankan dari pada aspek kerusakan. Kaidah ushul ini sangat diperlukan untuk menentukan sikap dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt.
Keempat, pertimbangkan benar-benar mana yang lebih mudah diamalkan, mengqadha’ puasa atau menunda haid? Semoga dengan kejujuran, seorang wanita dapat menentukan jawabannya.
وَعَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: (مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ) (وَمَا لَعَنَ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ لَعْنَةٍ تُذْكَرُ) (وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ) (وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ, فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ، إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللهِ – عز وجل – فَيَنْتَقِمَ للهِ) (وَمَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ أَمْرَيْنِ, إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا, مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ)
Aisyah RA berkata: (Rasulullah sama sekali tidak pernah memukul wanita–istrinya–atau pembantunya, kecuali dalam perang di jalan Allah) (Rasulullah SAW juga tidak pernah melaknat terhadap apa yang diingatkan) (beliau juga tidak pernah balas menyiksa terhadap sesuatu yang ditimpakan padanya) (terhadap sesuatu yang ditimpakan lalu membalas pelakunya, kecuali jika suatu kehormatan dari kemuliaan-kemuliaan Allah SWT dilecehkan, maka beliau membalasnya karena Allah) (Dan tidaklah beliau diberi dua pilihan, dari hal-hal yang bukan pada dosa kecuali mengambil perkara yang lebih ringan. Namun jika dua hal itu pada dosa, maka beliau adalah sosok manusia yang sangat menjahuinya). HR Bukhari: 3367, 6461; Muslim: 2327, 2328; Abu Dawud: 4785, 4786; Nasai: 2096; Ibnu Majah: 1984; dan Ahmad: 24080, 25965
Oleh karena kondisi setiap wanita berbeda, maka bagi wanita yang ingin menunda haidnya agar ibadah puasanya dapat sempura selama bulan Ramadhan, maka perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada pakar medis sehingga tidak membahayakan bagi dirinya. Jangan sampai tidak cermat dalam menentukan pilihannya sehingga tidak berdampak maslahat baginya, bahkan sebaliknya. Na’udzu’billah min dzalik.
Catatan Akhir
Pada akhirnya setiap wanita yang hendak mengkonsumsi pil penundaan haid untuk tujuan agar dapat menjalani puasa Ramadhan secara utuh, dan menganggap mengqadha’ puasa di hari-hari lain sangat menyulitkan agar memahami dirinya supaya berdampak positif dan bukan sebaliknya.
Tidak mungkin hukumnya digeneralisasi untuk setiap kaum hawa. Karena kondisi fisik dan kesempatan mengqadha’ puasa Ramadhan berbeda-beda.
Semoga Allah SWT menganugerahkan taufiq-Nya sehingga pilihan setiap wanita yang menunda haid mendapat ridha-Nya. (*)
Artkel ini kali pertama dimuat di majalah Matan, atas zin redaksi, dimuat kembali oleh PWMU.CO.
Editor Mohammad Nurfatoni