Ramadhanku, Kebahagiaanku, ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Ramadhanku, Kebahagiaanku ini berangkat dari hadits riwayat Muslim.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ مَا مِنْ حَسَنَةٍ عَمِلَهَا ابْنُ آدَمَ إِلاَّ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ جُنَّةٌ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ”
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “Setiap amal anak Adam akan dilipat gandakan kebaikannya, satu kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Berfirman: Kecuali puasa, karena puasa itu adalah bagiKu, dan Akulah yang akan memberi pahalanya, sebab ia telah meninggalkan nafsu syahwatnya dan nafsu makannya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika berjumpa dengan Tuhannya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari minyak kasturi.”
Kebahagiaan Itu
Tiada seorang manusia pun yang dalam kehidupannya tidak menginginkan kebahagiaan atas dirinya. Bahkan hampir semua aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan itupun dalam rangka mencari kebahagiaan. Semua berjuang dan juga rela bersusah payah dalam rangka mendapatkan kebahagiaan. Maka tepatlah jika pepatah mengatakan “berakit-rakit ke hulu, berenang ketepian”, yakni bersakit dan bersusah dahulu baru dapat menemukan kebahagiaan.
Maka apa artinya kehidupan ini bagi kita jika kebahagiaan yang selalu diinginkannya itu tak kunjung didapatkan. Sebenarnya dimana letak kebahagiaan itu? Banyak orang yang telah berusaha mendefinisikannya. Banyak pula yang tertipu oleh kesalahan persepsi dirinya tentang kebahagiaan itu.
Mayoritas kesimpulannya: kebahagiaan itu jika ini dan itu, atau jika dapat memiliki ini dan itu dan lain sebagainya, yang muara dari semua itu tiada lain adalah keberhasilan memiliki harta dunia yang melimpah, rumah yang megah, mobil yang mewah.
Padahal Allah telah menjelaskan semua itu hanyalah kesenangan yang sifatnya hanya sementara.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَئَابِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali ‘Imran: 14).
Jadi semua itu akan sangat mudah lenyap dan hilang dari sisi kita. Dan begitu mudahnya bagi Allah untuk melenyapkan dari sisi kita, karena semua itu dalam genggaman kekuasaan Allah SWT.
Takwa, Letak Kebahagiaan Itu
Lalu adakah yang lebih baik dari semua itu, yang mampu mengantarkan kita untuk mendapatkan kebahagiaan yang kita cari selama ini?. Allah melanjutkan dalam firman-Nya:
۞قُلۡ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيۡرٖ مِّن ذَٰلِكُمۡۖ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَأَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞ وَرِضۡوَٰنٞ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ
Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”. Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali ‘Imran:15).
Dengan demikian jelaslah tiada lain kebahagiaan itu terletak pada ketakwaan kita kepada-Nya. Takwa dengan segala dimensinya yang melingkupi seluruh sendi-sendi kehidupan, mulai dari cara beribadahnya, cara mendapatkan harta-bendanya, sikap dan etika dalam kehidupannya dan seluruh aspek kehidupan lainnya.
Takwa berarti mampu mekondisikan dirinya, hati dan pikiran serta nafsunya hanya tunduk pada aturan kehidupan yang telah diturunkan-Nya. Hatinya dipenuhi dengan sikap husnudldlan (positive thingking) tentang kehidupan ini, bahwa Allah telah memberikan yang terbaik kepadanya.
Sembari memiliki sikap tawakal dan sabar yakni ulet, lapang dada dan pemaaf serta sifat-sifat mulia lainnya. Pikirannya selalu didaya gunakan untuk sebesar-besarnya demi kemaslahtan umat sebagaimana peran kehidupannya sebagai khalifatullah atau wakil Allah di muka bumi.
Kebahagiaan Hakiki
Kebahagiaan yang sesungguhnya sebagaimana dalam hadits di atas yaitu kebahagiaan ketika kebutuhan penghidupan kita dapatkan. Sebagaimana setelah seharian kita berlapar-lapar dan berdahaga ria (berpuasa) lalu pada saat berbuka tiba, betapa bahagianya kita dapat menyantap makanan dan minuman yang sudah seharian dinantinya.
Ternyata kebutuhan kita sesungguhnya tidak seberapa, perut kita ini tidak sanggup menampung segitu banyaknya hidangan yang kadang melimpah, dan sering kali malah mubadzir karena tidak habis, padahal mubadzir itu adalah identik dengan teman-temannya setan.
Maka selayaknya dalam berbuka kita tidak perlu berlebihan. Secukupnya saja sesuai dengan kebutuhan perut kita. Dan demikianlah gambaran keserakahan itu, dengan dunia kita sangat serakah dan sebaliknya tidak untuk kepentingan akhirat. Kebahagiaan didapatkan ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dan semua itu dilandasi atas keimanan kepada Allah SWT yaitu dengan perasaan penuh syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan jasmani ini, akan mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya jika dilandasi dengan kesesuaian dengan hati kita yang dipenuhi rasa keimanan kepada-Nya.
Makna kebahagiaan yang kedua yaitu ketika berjumpa dengan Allah, tentu dalam dimensi kehidupan dunia adalah perasaan syukur tersebut, yakni dengan merasakan besarnya curahan kasih-sayang-Nya. Sehingga puncak kebahagiaan itu adalah ketika kita selalu dapat merasakan bahwa Allah selalu di sisi kita (menyertai kita), menemani dan juga melindungi diri kita.
Begitulah hebatnya puasa bagi yang menjalankannya dengan penuh penghayatan, sehingga dampak psikologisnya akan dapat mengubah mindset kehidupannya secara total, insyaAllah. (*)
Ramadhanku, Kebahagiaanku Editor Mohammad Nurfatoni