PWMU.CO – Bung Nadjib, panggilan Tamhid Masyhudi untuk Nadjib Hamid sejak di IPM tiga dekade yang lalu. Panggilan yang kini menjadi sejarah.
Seperti yang diceritakan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu saat Takziah Virtual mengenang wafatnya Nadjib Hamid. Acara yang digelar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Family Gathering itu dilangsungkan via Zoom, Sabtu (10/4/21).
Bagi Ir Tamhid Masyhudi, kepergian sang koleganya tersebut seperti sebuah firasat. “Sehari sebelumnya, ada pesan yang dititipkan Pak Nadjib melalui istri. Yakni permintaan maaf beliau kepada seluruh kolega dan seseorang yang disebutkan secara khusus,” ujarnya.
Permintaan maaf tersebut, sambungnya, alhamdulillah sudah dijawab dan disampaikan kembali pada Pak Nadjib melalui sang istri. “Termasuk juga kepada seluruh pimpinan wilayah yang lain pada malam itu juga, Kamis (8/4/21),” tambahnya.
Keesokan harinya, Jumat (9/4/21) sekitar pukul 07.00, Tamhid ditelepon salah satu putra Nadjib Hamid. “Waktu itu sedang dalam perjalanan menuju Surabaya karena ada kegiatan yang harus dihadiri. Menjelang pintu keluar tol Surabaya, ditelepon anak Pak Nadjib dan diminta segera menuju RS Siti Khodijah, Sepanjang, Sidoarjo. Sampai di rumah sakit, Pak Nadjib sudah wafat,” ungkapnya.
Bagi Tamhid, sosok Nadjib Hamid seperti rumah bagi para kader Muhammadiyah. “Rumah beliau bukan hanya dijadikan tempat bermalam para juniornya, tetapi juga menjadi perantara perjodohan,” kata dia.
Datang Duluan
Banyak kader muda Muhammadiyah, sambungnya, yang menemukan jodoh melalui perantara Pak Nadjib. “Kalau dihitung sudah puluhan juniornya yang dijodohkan. Apabila ada juniornya yang menikah, beliau yang datang duluan. Bahkan seminggu sebelum wafat, beliau menghadiri akad nikah juniornya di salah satu daerah di Gresik,” paparnya.
Menurut Tamhid, selama pertemanan dengan Bung Nadjib, banyak memetik pelajaran yang luar biasa. “Ada semacam pendidikan yang tidak hanya teori, tapi juga berkecimpung langsung. Itu menjadi bagian dari kekuatan yang melampaui fisik seorang Nadjib Hamid,” terangnya.
Dia lalu mengisahkan, betapa mobilitas kawannya, Bung Nadjib itu luar biasa tinggi. “Suatu hari, beliau harus ke Pacitan. Tetapi sore harinya masih di Lamongan. Karena tidak ada kendaraan, maka dilakukanlah penjemputan secara estafet. PWM berkoordinasi dengan beberapa teman di daerah untuk saling estafet menjemput beliau hingga sampai di Pacitan,” tuturnya.
Bagi Tamhid, selama proses membersamai Nadjib Hamid banyak pelajaran berharga yang dipetik. “Pelajaran berharga bagi para penerus yang belum bisa diikuti pimpinan PWM yang lain,” imbuhnya.
Panggilan Bung pada Nadjib Hamid oleh Tamhid Masyhudi juga punya sejarah sendiri. Panggilan tersebut sudah lama digunakan saat berkomunikasi, agar lebih erat. “Panggilan yang disematkan sejak awal pertemanan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), hampir tiga dekade yang lalu,” kata dia.
Kiprah Nadjib Hamid juga tampak saat mengakuisisi PSHW, klub sepak bola milik PWM Jatim yang sekarang di divisi II. “Pak Nadjib ingin menghadirkan dakwah dari sisi lain. Hasil rapat pimpinan harian menyetujui untuk membeli klub tersebut, yang kemudian diberi nama PSHW,” ujar Tamhid. (*)
Penulis Yulia Febrianti. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni