Virusku Hilang berkat Ramadhan ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Virusku Hilang berkat Ramadhan ini berangkat dari hadits riwayat Muslim dan Ahmad dalam Musnad.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، أَنَّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ: “الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ”. رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah bersabda “Shalat yang lima waktu, (shalat) Jumat ke Jumat (berikutnya), Ramadlan ke Tamadlan (berikutnya) menjadi kaffarat di antara keduanya jika al-kabaair dihindari.”
Virusku Hilang
Ramadhan kali ini masih dalam suasana pandemi Covid-19. Semoga virus ini segera lenyap dari negeri ini, senyampang sudah banyaknya yang divaksin. Tetapi ada virus yang juga tidak kalah berbahanya dalam diri ini yaitu virus yang berupa penyakit-penyakit hati, iri dan dengki, dendam, malas berbuat kebaikan, riya’ dan sum’ah dan lain sebagainya.
Dengan memberikan vaksin yang tersedia yaitu berbagai aktivitas ibadah, khususnya ibadah mahdhah, maka semua virus itu dapat lenyap secara bertahap dalam diri ini. Apalagi di bulan suci Ramadhan ini, dengan aktivitas puasa di siang hari dan ditambah ibadah lainnya yang sudah biasa dilaksanakan harapan hilangnya virus ini semakin kuat. Ditambah semakin banyaknya aktivitas ritual menjadikan diri ini seharusnya lebih memiliki daya tahan dan bahkan mampu mengendalikan berbagai serangan virus yang ada.
Tentu dalam rangka menjalankan ibadah ini, untuk mecapai hasil yang maksimal dibutuhkan pemahaman yang benar, yaitu dengan selalu mengasah jiwa kehambaan diri kepada Allah SWT.
Makna Kaffarat
Sebagaimana dalam hadits di atas, antara shalat yang lima waktu, antara Jumat ke Jumat berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi kaffarat atau penutup atau penghapus dosa-dosa selain dosa besar.
Kaffarat berasal dari kata kaffara, dengan asal kata kafara, sering di maknai dengan kafir, padahal kafir itu sendiri memiliki makna tersendiri sebagai isim fa’il atau pelaku dari kafara, memiliki dua makna yakni bisa bermakna ingkar atau juga berarti zari’ artinya petani. Karena para petani selalu menutupi benih tanaman di sawah atau ladangnya. Dengan demikian orang kafir berarti orang yang suka menutupi kebenaran.
Kafara billah berarti ingkar kepada Allah, yang berujung pada kafara bini’matillah yakni tidak mensyukuri karunia Allah. Kaffaraat sebagaimana hadist di atas berbentuk jama’ muannats salim (perempuan) yang berarti maa yustaghfara bihi al-itsmu yakni yang dihapus atau yang ditutupi dengannya dosa-dosa.
Di antara karunia Allah yang sangat besar adalah pemberian kaffarat ini kepada hambaNya. Kaffarat ini adalah berbentuk ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa kecil yang kita lakukan, selama dosa itu tidak termasuk dalam kategori haqqul adamiy atau sesama ana cucu Nabi Adam ‘alaihissalam. Karena jika berkaitan dengan haqqul adamiy penyelesaiannya haruslah dengan orang yang kita telah berbuat dosa kepadanya tersebut.
Cinta Allah, Pahala dan Pengampunan
Maka betapa berlipatnya kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Di samping tetap memberikan pahala atas setiap amal ibadah yang kita lakukan, juga memberikan ampunan terhadap dosa-dosa yang sangat mungkin kita lakukan di antara waktu jeda antara aktifitas ibadah rutin tersebut. Maka sungguh sangat rugilah bagi manusia yang menyia-nyiakan karunia yang berupa perintah menunaikan ibadah mahdlah itu, karena ia sama sekali tidak mendapatkan manfaat apa-apa dalam hidupnya.
Setiap hari kita diwajibkan untuk senantiasa menegakkan shalat yang lima waktu. Bagaimanapun sebagai manusia kita membutuhkan suatu kondisi atau keadaan khusus dalam rangka menjalin komunikasi dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta Alam Semesta. Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhani kita sekaligus berfungsi lebih me-refresh diri kita sehingga lebih memiliki kekuatan extra dalam menjalani kehidupan ini. Kekuatan untuk selalu berjalan di atas rel kebenaran.
Setiap hari Jumat kita senantiasa diseru oleh Allah untuk menunaikan shalat berjamaah jumat yang sebelumnya ada khutbah. Hal ini tentu mengandung hikmah yang sangat besar, agar kita tidak terlena dengan kehidupan dunia yang seolah serba gemerlap ini.
Di samping itu pesan takwa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang khatib, dalam rangka mengingatkan agar dalam kehidupan ini kita selalu mewaspadai terhadap jebakan-jebakan yang sangat banyak sekali, yang kadang begitu mudah menggelincirkan diri kita ke dalam perbuatan dosa.
Pesan khutbah tidak ada lain juga agar kita tetap menempati posisi yang sesuai di sisi Allah SWT. Menempatkan diri kita dalam kehidupan ini sebagai hamba yang siap taat dan tunduk hanya kepadaNya.
Selanjutnya diharapkan kita mampu menempatkan dunia ini bukan sebagai tujuan utama yang ingin dan hendak diraih, tetapi lebih dari itu bercita-cita meraih kebahagiaan yang hakiki yaitu di akhirat nantinya. Maka dunia hanya disikapi sebagai sarana dan fasilitas saja dalam rangka mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut.
Maka pantaslah bagi orang yang menunaikan shalat jumat dengan baik dengan mendengarkan khutbah, Allah akan mengampuni dosa-dosa kecilnya. Khutbah Jumat memiliki fungsi sebagai pengingat kepada kita kaum mukminin, karena peringatan itu hanya berfungsi bagi kaum mukminin saja.
وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (adz-Dzaariyat: 55)
Puasa Benteng dari Virus
Sedangkan setiap tahun selama satu bulan penuh kita diwajibkan berpuasa. Tentu hal ini sebagai pelengkap agar diri kita memiliki daya tahan lebih dalam rangka menghadapi peliknya kehidupan ini. Dalam berbagai situasi dan kondisi diharapkan kita tetap memiliki kekuatan dan stamina menghadapi virus-virus internal maupun eksternal. Virus internal berupa sifat-sifat yang mengotori hati kita. Virus eksternal berupa tantangan-tantangan yang sering menyulut emosi kita sehingga diharapkan kita tetap senantiasa bersabar dalam menempuh jalan kebenaran.
Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga kita dapat menuntaskan perjuangan ini sampai detik terakhir bulan suci ramadlan. Dan pada saatnya nanti akan kita dapatkan rasa kebahagiaan yang tersebunyi dalam diri yang tak terlukiskan dengan kata-kata, buah dari proses yang kita jalani dengan menemukan hakekat kehidupan yang sejati, kehidupan yang selalu bersandar kepada-Nya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 29 Tahun XXV, 16 April 2021/4 Ramadhan 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.