Membangun Politik tanpa Parpol oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO– Umat Islam di dunia saat ini terpuruk. Aturan-aturan Islam utama tidak berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan yang mempraktikkan Islam disebut intoleran, radikal.
Sejak khilafah Usmani jatuh 1924, kepemimpinan dunia beralih ke tangan Barat. Kehidupan bergerak mengikuti aturan sekulerisme dan neokapitalisme. Tata Dunia baru pasca-khilafah dibangun di bawah kepemimpinan PBB, IMF dan the World Bank.
Banyak aktivis Islam nasionalis berusaha mengembalikan kepemimpinan Islam melalui partai politik. Agenda utamanya merebut kekuasaan dan kepemimpinan politik melalui Pemilu dengan prosedur demokrasi.
Mereka lupa bahwa Parpol adalah instrumen nekolimik. Instrumen lain neokapitalisme adalah korporasi. Dengan UUD 2002, kedua lembaga itu kini memonopoli pasar politik dan ekonomi. Demokrasi langsung one-man one-vote, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi adalah ekspor AS yang paling berbahaya.
Bagaimana membangun kepemimpinan politik tidak diteladankan oleh pimpinan parpol, termasuk parpol Islam. Saat institusi formal sosial, politik dan ekonomi begitu diberhalakan, muslim menghabiskan waktu dan bekerja untuk kepentingan Ormas, Parpol dan korporasi.
Muslim meninggalkan rumah, dan masjid. Kedua institusi ini dipandang tidak sepenting Ormas, parpol dan kantor atau perusahaan mereka.
Baik rumah dan masjid dipandang sebagai property, bukan institusi. Muslim berlomba bermegah-megahan membangun rumah dan masjid, tapi lupa membangun keduanya sebagai institusi produksi, edukasi dan sosial-politik.
Tanpa terasa, muslim justru membangun masyarakat individualis, sekuleris, dan kapitalis serta hedonistik. Muslim tidak mau hidup sederhana, bertetangga, tapi bersukacita bergelimang utang dan riba. Dalam proses itulah, muslim menjadi buih di lautan, kehilangan kepemimpinan.
Madrasah Keluarga
Semestinya kepemimpinan dibangun mulai dari keluarga di mana adab dan akhlak dipraktikkan oleh suami-istri dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran, pengorbanan, tanggung jawab, cinta kasih ditumbuhkan subur dalam keluarga.
Sikap jujur, peduli, cerdas, dan amanah diteladankan dalam keluarga. Keluarga adalah madrasah yang pertama dan utama. Kepemimpinan dimulai dari belajar, yaitu proses memaknai pengalaman (making sense of experiences) berkeluarga melalui kesempatan membaca, berbicara, dan menulis di rumah. Belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme birokratik persekolahan.
Keluarga menjadi satuan edukatif dan produktif sekaligus, bukan satuan konsumtif. Gaya hidup konsumtif dimulai saat kegiatan belajar diserahkan secara transaksional ke sekolah.
Kebanyakan sekolah adalah instrumen indoktrinasi sekuleris sekaligus nekolimik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup cerdas untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Pelayanan Masjid
Semestinya kepemimpinan dikembangkan lagi melalui kehidupan bertetangga dengan masjid sebagai institusi yang melayani masyarakat di sekitar rumah. Ini tahap kedua kepemimpinan, yaitu relating with peoples.
Pengalaman hidup bermasyarakat yang dimulai dari rumah diperluas. Masjid adalah institusi di mana masyarakat dikenali secara cermat, sehingga takmir memahami peta teritorial, dan peta masalah tetangga yang aktif berjamaah di masjid.
Masjid menjadi pusat konsolidasi kecerdasan kelompok di mana keputusan bersama dilakukan secara musyawarah. Demikianlah Muhammad Rasulullah saw tumbuh menjadi al-Amin.
Tugas takmir tidak sekadar menyelenggarakan ibadah mahdhoh, tapi juga menyediakan dukungan sosial, dan ekonomi bagi para tetangga anggota jamaah masjid.
Data base jamaah dibangun sebagai basis interaksi intens antara takmir dan jamaah. Perang melawan riba dan persoalan lainnya dikoordinasikan dari masjid sebagai simpul konsolidasi kekuatan sosial ekonomi dan politik ummat.
Untuk mengakhiri keterpurukan umat, kita perlu mengakhiri sikap meremehkan rumah dan masjid dekat rumah. Tidak perlu membentuk Parpol yang mahal lalu menunggu Pemilu yang memilukan. (*)
Labuanbajo, Flores Barat, 15/4/2021
Editor Sugeng Purwanto