Jalani Ramadhan dengan Suka Cita ditulis oleh Sri Lestari Linawati, Dosen Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta dan Anggota LPCR PP Muhammadiyah
PWMU.CO – Marhaban ya Ramadhan. Di tengah pandemi yang masih mewabah, larangan mudik pun dibuat. Getir terasa bagi yang tidak bisa mudik. Pilihannya hanya ditumpukan pada sebuah doa.
Doa menjadi sebuah kata ajaib yang ditunggu saat-saat ijabahnya. Demikianlah, Ramadhan tetaplah sebagai bulan mulia yang menentramkan. Marhaban ya Ramadhan.
Terkadang takut juga kalau mendengar kajian Madrasah Ramadhan. “Saat keluar dari Ramadhan, semestinya kita menjadi pribadi yang lebih baik,”. Begitu pesan para ustadz yang sering kita dengar.
Apakah keimananku menjadi lebih baik sebagaimana pesan para ustadz tersebut? Secara subyektif mungkin ku katakan lebih baik. Yang sejatinya? Wallahu a’lam. Masih banyak agenda kejayaan peradaban Islam Indonesia yang masih belum tercapai, masih carut marut, butuh penanganan lebih lanjut.
Baiklah, itu perlu ikhtiar dan perjalanan waktu. Kini saatnya merenungkan melalui lagu. Beberapa lagu menyambut Ramadhan telah menghiasi beberapa grup WhatsApp.
Semuanya indah dan syahdu, mulai dari yang jenis pop, hingga model koplo. Semua menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Ada pula sebuah harapan dengan datangnya bulan Ramadhan, bulan ampunan dan penuh kemuliaan.
Ramadhan Penuh Ampunan dan Pengharapan
Bagi saya pribadi, Ramadhan sungguh memberikan harapan. Bulan penuh ampunan dan pengharapan. Setiap detiknya kita bisa bersandar pada Sang Maha.
Menyiapkan makan sahur, lanjut sahur bersama keluarga, adalah saat-saat indah di pagi hari. Tentu saja ini tidak serta merta terjadi. Butuh latihan dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya.
Sedemikian bermaknanya acara sahur bersama keluarga, mengajarkan saya untuk mengatur waktu sedemikian rupa agar mampu menjalankan tugas itu dengan baik. Sebagai perempuan, saya perlu belajar dan belajar. Kalau tidak, maka saya hanya akan kesal dan marah. Bahaya kan.. Hehe..
Inilah pentingnya sebuah paradigma berfikir. Menyiapkan sayur bergizi di pagi hari tidak mudah bagi saya. Kadang kantuk masih menggelayut. Memotong bawang putih, sayuran dan menyiapkan lauk sebenarnya pekerjaan biasa.
Menjadi luar biasa karena dilakukan pagi buta dan harus cepat. Kapan musti beribadah shalat tarawih dan witir, kapan bisa tadarus, kapan saatnya masak, kapan sahur bersama, segera shalat Shubuh berjamaah dan lanjut cuci piring, cuci baju dan menyapu halaman.
Dulu saya mengalaminya sebagai sebuah perjuangan. Kini saya mulai menikmatinya sebagai sebuah jalan ibadah. Tidak peduli kapan akan sampai di puncak kemuliaan dan kesempurnaan, bukan urusan kita. Tanggung jawab kita hanyalah menjalankan hidup ini dengan sepenuh hati.
Tepatlah kiranya sapa salam Ramanda Budi Sudjijono, “Semoga kita beribadah dengan hati suci dan pikiran bersih,”. Segera saya aminkan. Betapa pun jauh di mata, namun saya bisa merasakan aura pesan beliau.
Ketua Bidang Pembinaan Pandu Hizbul Wathan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu memiliki kesungguhan lahir batin. Sebagaimana pernah saya saksikan totalitas beliau saat mengajar kami pada TOT Outbound Management Training Kwarpus HW di Hutan Mojosemi, lima tahun silam.
Peran Perempuan Saat Ramadhan
Kiranya ada banyak agenda yang perlu kita lakukan sebagai perempuan. Pandemi ini memaksa kita mampu mendampingi putra-putri kita belajar secara mandiri. Kelas online memanggil kesadaran para ibu untuk siap lahir batin dan sigap menghadapi perubahan.
Selain menyiapkan HP dan laptop, yang tak kalah pentingnya juga adalah menyiapkan anak untuk terampil belajar mandiri dan tetap dalam koridor Akhlakul Karimah.
Hla gimana enggak repot, wong himbauan disiplin protokol kesehatan 5 M itu bermakna disiplin mencuci tiap hari je. Sebaiknya di rumah, namun bila terpaksa dan ada keperluan mendesak, kan keluar rumah juga. Pulangnya wajib mandi dan ganti pakaian.
Belum lagi bila suasana hujan, harus lebih rajin berburu sinar matahari agar cucian bisa kering. Swear, itu semua butuh kekuatan dan keikhlasan, agar terus bisa tersenyum dan semangat menunaikan tugas-tugas.
Itulah kiranya paradigma sederhana yang perlu difahami para perempuan. Perempuan perlu punya konsep diri yang jelas, untuk apa hidup ini, ke mana tujuan akhir hidup ini, bagaimana sikap dan laku hidup yang musti dijalankan dari detik ke detik berikutnya.
Senyum itu shadaqah. Berkata baik itu shadaqah. Bagaimana mungkin kita akan mampu membangun kembali kejayaan peradaban Islam bila suami, anak-anak dan orang tua kita terbengkelai tanpa makna?
Inilah agenda kita bersama. Menjalin hubungan baik dengan suami, anak-anak, orang tua, keluarga, tetangga, masyarakat, umat, bangsa dan negara memerlukan pemikiran dan kerja nyata di lapangan.
Pesan KH Ahmad Dahlan untuk Perempuan
Bukan untuk laporan penelitian dan pengabdian masyarakat, namun untuk akhir hidup kita yang husnul khatimah. Telah banyak jiwa yang kembali pada Sang Ilahi karena pandemi.
Bukan takut yang kita ajarkan, bukan pula abai sikap yang kita terapkan. Ikhtiar menjaga disiplin prokes dan menata hubungan kerja yang lebih harmonis menjadi sebuah keniscayaan.
Wanita adalah ibu kehidupan,
Wujud benteng terakhir keutuhan moral.
Rusak wanita,
Rusaklah masyarakat,
Hancurlah kebudayaan,
Runtuhlah peradaban.
“Berhati-hatilah terhadap urusan perempuan,” begitu pesan KH Ahmad Dahlan. Pesan ini bukan saja untuk laki-laki, namun perempuan pun perlu banyak mengkaji pesan pendiri Muhammadiyah ini.
Untuk apa? Agar kita ikhlas menerima diri, mampu mengemban amanah suami dan anak-anak, sekaligus mampu memikirkan kemajuan masyarakat, umat dan bangsa.
Pagi cerah Djokjakarta, 1 Ramadhan 1442 H. (*)
Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni