Nadjib Hamid di Mata Keluarga

Nadjib Hamid di tengah keluarga. Beliau merangkul Ibu yang saat itu hendak melepas Hazim (kanan) ke Hungaria. Keduanya telah berpulang dalam waktu empat bulan. Nadjib Hamid di Mata Keluarga. (Istimewa/PWMU.CO)

Nadjib Hamid di Mata Keluarga, ditulis oleh Maftuhah Hamid, adik bungsu Nadjib Hamid.

PWMU.CO – Di saat kita di sini bersuka-cita menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, dengan ‘Marhaban ya Ramadhan’, saya membayangkan kakak saya, Nadjib Hamid di alam sana disambut pula oleh orang-orang terkasih. Terutama oleh keluarga kami yang sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah. Mereka adalah: kedua orangtua dan lima saudara: kembar Wahab-Wahib, Nur Kholis, Mahfudlo, dan Aziz.

Kami memang sembilan bersaudara: Nadjib, Mahfudlo, Wahab, Wahib, Nur Kholis, Masruroh, Aziz, Hazim, dan Maftuhah. Namun kami tidak utuh lagi karena satu per satu saudara kami wafat sejak kecil. Dan Nadjib merupakan anak sulung dari pasangan Bapak Abdul Hamid dan Ibu Kholifah yang tinggal di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.

Nadjib adalah nama yang diberikan orangtua kami, yang suka memberi nama singkat kepada anak-anaknya. Namun nama Nadjib rupanya banyak di kalangan teman-temannya, sehingga ditambahkan nama belakang Bapak menjadi Nadjib Hamid. Nama itu kemudian disesuaikan dengan dokumen-dokumennya. Dan insyaallah nama ini akan tetap harum dalam ingatan kita.

Kita semua sepakat bahwa beliau adalah orang baik. Peduli dan sangat perhatian dengan siapapun, khususnya pada keluarganya. Di mata saya beliau adalah panutan, sosok yang melengkapi orangtua kami dalam membimbing budi pekerti, kedisiplinan, dan ketekunan.

Kami lahir sebagai putra-putri seorang petani. Kedua orangtua kami sehari-harinya hanya bergelut dengan sawah, mengolah ladang demi mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Nadjib sudah berjasa membantu keluarga dari kecil hingga akhir hayatnya.

Selain telaten ngemong adiknya, ia tak segan membantu Ibu memasak di dapur, mengirim bekal Bapak di sawah. Mbogor (bahasa Paciran: aktivitas orang yang mengambil legen atau air siwalayan dari pohon dan mengolahnya). Jualan siwalan dan tetap bersekolah dengan mandiri.

Ia mulai aktif berorganisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) saat di bangku sekolah menengah. Lulus Madrasah Aliyah Muhammadiyah tahun 1982, berkat prestasinya ia disekolahkan di Ma’had ‘Aly Lil Fiqh wad Dakwah Bangil Pasuruan. Ini pangkal tolak beliau ke kota.

Nadjib Hamid saat remaja. Nadjib Hamid di Mata Keluarga. (Istimewa/PWMU.CO)

Hijrah ke Kota

“Kalau saya hanya di Paciran, maka saya mati.” Itulah prinsip saudara saya itu agar terus bergerak dan bermanfaat bagi orang banyak. Memilih hidup di kota, agar tidak jadi katak dalam tempurung, yakni hanya hebat di dalam tapi kecil di luar. Hal ini sering pula ia sampaikan dalam memotivasi para kader muda untuk berkembang.

Saya terpaut 20 tahun dengan beliau, yang sudah hijrah ke kota sebelum saya lahir. Sehingga saya tidak banyak waktu bersamanya. Namun acap kali Ibu berbagi cerita tentang anak sulungnya sedari kecil. Kami senang saat beliau pulang ke rumah, beliau bawakan oleh-oleh kebutuhan kami. Tak jarang, ia bawa teman-temannya datang ke desa dan ladang kami.

Kepada adik-adiknya, tidak pernah sekalipun memaksakan kehendaknya. Saat saya mengambil kuliah di Yogyakarta, misalnya saya dibiarkan memilih apa yang menjadi keinginan saya. Demikian pada kakak-kakak saya yang lain.

Beliau ingin kita semua berkembang. Membiarkan apapun yang menjadi jalan kami untuk bisa maju dan mandiri, beliau hanya membimbing dan mangarahkan dengan berpesan, “Pergilah yang jauh dan tekuni apa yang menjadi minatmu.”

Kami pun tidak pernah ‘janjian’ kalau kita akhirnya sama-sama menekuni bidang literasi/menulis. Tidak pernah belajar bareng tentang penulisan. Saya editor buku, beliau pun demikian.

Kami pernah dipertemukan di beberapa kesempatan Muhammadiyah Education (ME) Award. Saya sebagai salah satu peserta lomba majalah sekolah, yang harus presentasi di hadapan beliau sebagai juri. Secara objektif beliau berikan penilaian, masukan dan kritik membangun yang menjadi tambahan ilmu baru buat saya.

Saya mengenal buku pertama kali dari perpustakaan pribadinya yang ada di rumah. Kecintaannya dengan ilmu pengetahuan luar biasa, dapat dilihat dari koleksi buku-bukunya yang memenuhi rumahnya, bukan hanya lemarinya.

Mulai buku politik, hukum, sosial budaya, sastra, fikih, akidah, akhlak, bahasa, dan kamus. Ada juga beragam majalah, buletin, kitab hadits, dan lainnya. Setiap pulang beliau selalu bawa bacaan untuk kami. Bahkan sering memberikan kado buku pada siapapun. Dapat kita jumpai di berbagai acara, beliau membuka lapak jualan buku.

Sangat betul bahwasanya beliau adalah penggerak. Ialah salah satu inisiator yang menggerakkan adanya “Silaturrahim Keluarga Besar” yang rutin diadakan setiap bulan Syawwal. Beliau pula yang menggerakkan langkah kerabat-kerabatnya untuk terus bisa sekolah meskipun dengan keterbatasan biaya.

Suatu hari, sepupu kami yatim piatu. Tidak ada yang mengurusi sekolahnya di desa. Oleh beliau mereka diajak ke panti asuhan Surabaya agar tetap lanjut sekolah. Dengan susah payah ia mengajak si bocah, bahkan mau menenteng sepatunya saat berangkat ke panti.

Mengutip sambutan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan H Shodikn, saat shalat jenazah ibu empat bulan lalu, 2 Desember 2020, yang mengatakan bahwa Ibu Kholifah adalah ibu yang hebat karena melahirkan putra yang luar biasa seperti KH Nadjib Hamid.

Saya pun bersaksi bahwa beliau adalah lelaki terhebat yang kami kenal. Hidupnya menginspirasi untuk berbuat kebajikan. Banyak petuah hidup yang kami serap, seperti kebiasaan memberi. Ia menasihati kami bahwa kita tidak akan rugi dengan berbagi. Berbagi dapat membahagiakan, semua amalan baik kita dapat kembali untuk diri kita sendiri. Kita pun dimudahkan dalam apapun.

Ini pengalaman belau langsung. “Itu yang saya rasakan. Bukan berdasarkan baca buku, atau cerita orang lain,” demikian nasehat beliau.

Ini semua beliau sampaikan untuk kami. Semoga kami dapat meneladani amal baiknya. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version