Jurnalis Otodidak Itu Kini Ganti Ditulis oleh Ainur Rafiq Sophiaan, Pemimpin Redaksi MATAN.
PWMU.CO– Nadjib Hamid, nama itu telah melekat di benak para wartawan Surabaya. Terutama yang sudah malang melintang di lapangan tahun 1990-an. Mas Nadjib nyaris identik dengan nama Muhammadiyah Jawa Timur.
Lebih terkenal daripada Ketua PWM. Tempat bertanya sekaligus mengonfirmasi informasi yang terkait Ormas itu. Setiap saat juga mudah dikontak.
Terlebih lagi menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Para jurnalis sudah hafal tradisinya. Menanyakan Maklumat PP Muhammadiyah. Dan Mas Nadjib dengan ilmu falak yang dikuasainya mempu menjelaskan dengan bahasa awam. Dengan metode hisab kepastian hari-hari yang banyak ditunggu itu dimuat di berbagai media. Mas Nadjib sudah lama dikenal ”humas” atau jubir PWM.
Saya mengenalnya sudah cukup lama. Sejak Ketua PWM Ustadz Abdurrahim Nur. Ketika itu saya diminta membantu merumuskan Pernyataan PWM tentang Evaluasi Akhir Tahun. Sebagai wartawan harian berbahasa Inggris The Jakarta Post tentu saya senang sekali. Terlebih beberapa kali mewawancarai Ustad Abdurrahim yang juga dosen IAIN Sunan Ampel (Sekarang UINSA)
Ketika kepemimpinan berganti ke Profesor Fasichul Lisan, saya semakin intens bertemu. Lebih lagi saat terjadi berbagai peristiwa amuk massa pendukung Presiden Gus Dur tahun 2001. Banyak aset amal usaha persyarikatan dirusak dan beberapa aktivis di daerah dipersekusi dengan berbagai cara.
Mas Nadjib bersama saya dan Faisol Taselan, wartawan Media Indonesia, kemudian mendokumentasikan semua peristiwa itu dalam buku Muhammadiyah, Korban Kekerasan Politik.
Majalah MATAN
Ketika Majalah PWM MATAN lahir tahun 2006, saya diminta membantu sebagai editor lepas. Sejak itu saya semakin tahu bahwa Mas Nadjib adalah seorang jurnalis otodidak yang tekun dan teliti. Walaupun tidak pernah bekerja di media umum, apalagi terjun menjadi wartawan lapangan, sense of journalism-nya sangat kuat dan tajam.
Dalam setiap rapat redaksi, dia sangat piawai menimbang-nimbang news value setiap peristiwa. Baik yang terkait Muhammadiyah atau isu-isu nasional.
Sampai akhirnya September 2018 saya diminta PWM menggantikan Kholid As sebagai Pemimpin Redaksi tak lepas dari usulan Mas Nadjib. ”Sampeyan yang cocok sekarang memimpin redaksi, karena lama di Majalah Al Muslimun Bangil,” katanya.
Saya memang 20 tahun (1984-2004) memimpin majalah hukum dan pengetahuan Islam itu hingga tak terbit lagi. Kekosongan itu juga yang langsung diisi MATAN.
Rupanya menulis memang sudah seperti aliran darah Mas Nadjib. Beberapa kali dalam rapat redaksi menyatakan, menerbitkan media dakwah tidak bisa sekadar hitung-hitungan bisnis. Apalagi memperlakukannya sebagai komoditas biasa. ”MATAN itu diterbitkan sejak awal membawa misi Persyarikatan yang sarat nilai dan misi. Jadi tidak mungkin kalau menggunakan kalkulasi media umum yang semata-mata kepentingan bisnis,” ujarnya dalam berbagai kesempatan.
Dan itu sudah dibuktikan dengan totalitas pengabdiannya. Sebelum lini bisnis dan marketing ditarik ke PT Daya Matahari Utama, Mas Nadjib mengerahkan segala talentanya. Sebagai redaktur, marketing, iklan, sampai distribusi dia lakoni. Bahkan saat menjadi komisoner KPU Jatim, MATAN sering dicangking di mobilnya ke daerah-daerah.
Ganti Ditulis
Di majalah ini, Mas Nadjib selain sebagai pemimpin umum juga bertanggung jawab atas rubrik-rubrik Persyarikatan, Kiprah Daerah, Tarikh, dan Dinamika Dakwah. Hingga tulisan terakhirnya di edisi 177 April 2021 dia masih sempat mengedit di tengah sibuk pengobatan sakitnya.
Dalam rapat redaksi 1 April lalu untuk edisi Mei, dia mengusulkan agar rubrik Tarikh diisi perjuangan empat aktivis Muhammadiyah Lamongan yang wafat belum lama ini. Belum lagi membalas WA saya tentang kisi-kisi Tarikh itu Mas Nadjib keburu masuk RS Siti Khodijah.
Kini rubrik Tarikh untuk edisi Mei depan memang akan terbit. Tapi istimewa. Menulis sosok penanggungjawabnya, Mas Nadjib Hamid. Rapat redaksi susulan sudah memutuskan akan ditarik menjadi FOKUS (rubrik utama) yang semua akan diisi Kajian Ramadhan PWM dan PP secara terpisah.
Jurnalis otodidak itu telah pergi ke hadirat ilahi. Saatnya ganti ditulis untuk mengenang pengabdian dan perjuangannya hingga kini. (*)
Surabaya, 16 April 2021
Editor Sugeng Purwanto